Menu Close

Embun Kata, Mentah dari Sumber Air Hati

Secuil roti manis dibuat penuh cinta hingga kami kehabisan waktu menunggunya, lalu malam menjelang sambutlah kami pada sebuah perjalanan. Perjalanan anak manusia yang gontai menghadapi keadaan hidupnya, perjalanan cinta anak manusia akan korelasi jarak jauh-dekat dengan “sang tua”, hingga kelakar-kelakar manis pemberi arti. Hujan mulai reda, baiklah kita kesana untuk bertemu semestinya.

Dalam mereguk berbagai persoalan tentu ada jalan-jalan yang harus ditempuh, pertimbangan sekaligus perimbangan untuk terciptanya konklusi yang selaras kembali dipikirkan. Jarak dekat, menengah atau jarak jauh. Ulang-aliknya begitu terasa menapaki cakrawala.

Tarian-tarian itu memenuhi cakrawala, para biarawati merenung, sang filsuf tercenung, si miskin terus berteriak-teriak karena kekalahannya, jerat-jerat kuasa oligarki kembali mencengkram elit, lalu si tukang bakso mengeluh karena kenaikan tarif listrik. Atau kawan-kawan yang terjerat hutang sama payahnya dengan kawan-kawan yang menagih hutang.

Ruang-ruang pemiskinan itu terjadi dalam sekejap di bumi agraris, perebutan ruang, konflik lahan, serta pembunuhan-pembunuhan nyatanya juga belum selesai.

Tak ayal bumi yang kaya hanyalah isapan jempol belaka, segala usaha yang ditempuh atau yang pernah ditempuh belum cukup memenuhi segala butuh. Jalma melakoninya hampir dua dasarwarsa menjadikan diri hilang sepenuhnya, nyatanya persoalan juga tak pernah usai, malah semakin berat.

Tidak adilkah?

Atau memang demikian seharusnya ladang berjuang, seakan kita adalah pahlawan atas hidup kita masing-masing. Yang berjuang atas sejengkal kaki, yang keramas dengan air mata demi selembar kertas.

Langkah-langkah selanjutnya adalah pertemuan, meruang mengabdi pada kesetiaan, atau menyampaikan uluk salam sebagai perpisahan-perpisahan lintas dimensi.

Jaman menerawang masa depannya, nampak secuil meteor biru perlambang harapan, namun lintang aliyan nya belum nampak. Sederet kisah tentang evolusi terekam dalam sejarah peradaban, sebaik-baiknya mahkluk nyatanya kita masih terseret urgensi kera, yang mendekat menjauh hanya karena urusan perut dan nafsu seksual. Sementara alogaritma canggih akan segera menggantikan jasa.

Menjadi terlatih untuk berpacu dengan robot adalah sebuah perlombaan. Ketika kejeniusan manusia diuji, ditabrakkan, dibenturkan oleh kecerdasan buatan. Pemrosesan data, kecepatan nalar, juga kalkulasi manusia modern tak sekedar bercakap-cakap dengan mesin kalkulator. Atau kebudayaan yang  harus terjerat dengan “label-label” sementara tanah papua kini menjadi merah.

Digelanggang pertarungan generasi tua renta kembali pada pengulangan. Mereka kira jaman akan berjalan dengan alur pemahaman mereka, mereka berharap bisa memegang kendali dengan cara klasik dan bumi manusia dilupakan tanggal lahirnya.

Semua soal paradigma, semua soal bagaimana menangkap pattern, menangkap kemana arah bidak catur berjalan, namun permainan kalian yang usang tak kunjung menangkap sendi-sendi jalannya perlombaan. Atau memang sengaja ditunjukkan, untuk menjadi ‘tiang garam’ bagi para penjelajah langit, serasa Bathara Narada berkata eh, ngger liat itu jagad anyar gumelar.

Anak-anak muda gelisah mencari dan menentukan siapa dirinya, sebagaian menuruti cara klasik, sebagian terjerat oleh pola masa lalunya, sebagian diinjak oleh nasib dimana sistem besar menentukan bahwa dia takkan menang melawan, sebagian lagi adalah manusia-manusia sesak pikir yang maunya nafsu melulu otaknya tumpul, sebagian lain adalah sang filsuf atau visioner pemegang peradaban.

Menerka kemana arah anak muda ini dimasa depan tentu adalah bagian dari misteri Tuhan, namun dalam berbagai jangka beberapa perubahan memang dibuat oleh anak-anak muda yang berani, idealis sekaligus mampu men-skakmat jaman. Yang disisi lainnya adalah pola-pola muram, yang instan sekaligus memberi distraksi kuat pada anak-anak ini, dibaliknya ada kapital yang berselingkuh dengan penataan alam berpikir secara global. Supaya kecerdasan mereka dikurung oleh modernisme yang instan.

Pagi meremang, bakaran arang belum selesai padam baranya sebagian masih menyisakan kehangatan. Setelah matahari terbit, perenungan kembali dimulai seperti Homo Deus bercerita soal tanpa kepentingan bersama, konsepsi yang disepakati bersama sebuah sistem besar akan gagal, yang ada hanyalah perlawanan-perlawanan kecil, penghilangan nyawa 1-2 orang nyatanya hanya mampu menjadi trigger bukan ledakan perlawanan yang membumikan kuasa Tuhan. Akhirnya manusia bukan semut, boleh kita mempelajari kecenderungannya sebagai mahkluk yang sistematis namun bukan demikian jalannya akal dan nalar manusia. Dimana setiap subjeknya mampu mengutarakan kata-kata, mampu menorehkan konsep-konsep ideal.

“Ketika kita bisa merancang dan merancang ulang kehendak, kita tidak lagi bisa melihatnya sebagai sumber kehendak kita, kita selalu bisa membuatnya mengatakan sebagai sesuatu yang lain” demikian tak ada yang kekal dalam pendaran pikir manusia, selalu relatif, menyesuaikan tingkat emosi, waktu serta berapa banyak informasi yang mampu merusak idealismenya, atau menyerang kekukuhan sikapnya, sisanya adalah pertahanan-pertahanan yang mungkin juga akan dijebol oleh realitas.

Selamat menapaki peradaban.

Kleco Wetan, 07 Februari 2019

Indra Agusta

Tulisan terkait