Menu Close

Bhre, The Barons of Majapahit

Senja menggantung di Majapahit, geliat perang saudara tak hanya menghancurkan sendi kemanusiaan tapi juga kerapuhan stabilitas peradaban. Jejak-jejak kemudian banyak disembunyikan, ancaman dari datangnya perubahan-perubahan berujung pada perebutan kekuasaan dan permainan hegemoni. Juga wisik-wisik alam mewarnai transisi.

Sepeninggal Raja Besar Hayam Wuruk si Rajasa Nagara, Majapahit dipegang oleh anaknya Wikramawardhana. Beliau mempunyai 3 orang anak Hyang Wekas ing Sukma yang entah kenapa Putra Mahkota yang digadang-gadang jadi ratu ini mati sebelum jadi raja (bisa dibunuh, diracun,atau memang meninggal masih diperdebatkan hingga sekarang), lalu Suhita adiknya menjadi Ratu di Mapahit.

Dewi Suhita menjadi Ratu di Majapahit ditandai dengan bencana kelaparan hebat di Majapahit, konflik nagari ternyata mau tidak mau berdampak pada stabilitas pertanian dan pangan di era Wikramawardana, dan Dewi Suhita yang waktu itu masih menjadi bhre di Daha (bhre adalah gelar semacam Baron di wilayah-wilayah kecil di Majapahit), di usia 20 tahun ketika kakaknya meninggal, ditariklah dia menjadi Raja Wanita termuda di Majapahit. Namun di tengah 10 tahun pemerintahannya suaminya meninggal, 10 tahun kemudian Dewi Suhita juga meninggal tanpa meninggalkan anak sebagai penerus.

Anak ke-3 dari Wikramawardhana  adalah Raden Kertawijaya seorang anak selir. Ketika Dewi Suhita menjadi ratu dia menjadi bhre di daerah Tumapel. Dari sinilah Kertawijaya lebih dikenal dengan sebutan Bhre di Tumapel. Kertawijaya inilah yang disebut-sebut sebagai Prabu Brawijaya I.

Ketika Kertawijaya menjadi Raja pemerintahannya diselingi dengan gempa bumi dan gunung meletus. selain itu menurut Pararaton ketika masa itu, kemenakannya Bhre Paguhan melakukan genosida, pembunuhan total di wilayah Tidung Galanting.  Masa pemerintahan Kertawijaya tidak stabil, banyak pemberontakan lalu muncullah tokoh yang diceritakan sebagai saudara Kertawijaya (meski validitas sejarah masih diragukan) Rajasawardhana, Bhre di Tumapel. Tokoh inilah yang kemudian membunuh Kertawijaya dan menggulingkan kekuasannya. Kertawijaya naik tahta namun hanya 2 tahun. 1453 Rajasawardhana meninggal orang memanggilnya sebagai Brawijaya II.

Terjadi kekosongan kekuasaan di Majapahit selama 3 tahun. Rajasawardhana disebut dalam Negarakertagama sebagai Dyah Wijayakumara mempunyai 2 orang anak Samarawijaya (Bhre di Mataram) dan Wijayakarana (Bhre di Kahuripan) pertarungan kedua orang ini sengit dalam mendominasi tahta Majapahit pasca Rajasawardhana. Sampai keduanya benar-benar kelelahan. Akhir dari pertarungan ini tidak diketahui, apakah sampyuh atau bagaimana yang jelas kedua-duanya tak mendapatkan tahta dan hilang dari sejarah.

1456 demi mengatasi carut-marut kronik di internal nagari, muncullah Bhre di Wengker mengambil alih kekuasaan mengangkat dirinya sebagai Raja selanjutnya di Majapahit kemudian bergelar Hyang Purwawisesa. Di masa ini bencana gunung meletus juga dituliskan mewarnai pemerintahannya tahun 1462. Lalu 1466 Purwawisesa meninggal, digantikan putranya Dyah Suprabhawa seorang Bhre di Pandanalas kemudian bergelar Singawikramawardhana sang Brawijaya IV.

Istrinya seorang Bhre di Singaphura Yang menurut mitos diceritakan sebagai Dewi Rengganis, si penguasa Danau Taman Hidup di Gunung Argopuro. Beberapa candi, relief di gunung tersebut masih tertata rapi dipuncaknya diatas ketinggian 3088mdpl.

Bhre pandanalas kemudian dianggap tidak mempunyai keturunan yang sah sebagai penerus tahta Majapahit. Setelah ini barulah muncul persekongkolan 4 anak Kertawijaya yang dua diantaranya diatas sempat berebut tahta, kini berkoalisi menjadi satu untuk meruntuhkan  brawijaya IV. Dipimpin oleh Bhre Kertabumi dan serangan tersebut berhasil menyingkirkan Pandanalas, sampai beliau meninggal di luar wilayah Majapahit.

Bhre Kertabumi yang bernama kecil Raden Alit inilah yang menjadi Mitos besar penguasa Majapahit terakhir, dan memang nama ini yang disebut diakhir kitab Pararaton (kitab raja-raja) sebagai Raja Terakhir, Raja Kawekas, Brawijaya V, ratu kang kawekas. Sampai tahun 1478M. Tahun 1400 saka yang sengkalan nya sangat terkenal “sirno ilang kertaning bumi”. Maka tahun itu pula kerajaan besar itu runtuh.

Di tahun yang kita tahu sedang terjadi “pencerahan” di seluruh dunia yang sebenarnya adalah perubahan besar dan kegelapan besar, kemunduran dari peradaban ahklak dst. Dan Majapahit menyembunyikan dirinya terhadap berbagai macam kekuatan-kekuatan yang mengancamnya dimasa depan. Penjelajah-penjelahan mulai datang, etika Aristoteles mulai didengungkan, sistem-sistem baru diduplikasi dan disebarkan keseluruh bumi.  Penjarahan terhadap bumi Nusantara dimulai.

Meskipun secara mayor Majapahit runtuh, namun tetap ada pembangunan candi-candi terakhir yang menjadi semacam tugu peringatan juga tempat bertapa untuk merenungi Majapahit, sampai 1511 di Gunung Penanggungan menjadi saksi bisu pembangunan candhi-candhi.Sementara ditahun yang sama kapal-kapal Portugis mulai singgah di Pelabuhan Selat Malaka.

Sejarah memang penuh pertarungan, dan alam senantiasa melakukan penyeimbangan namun dehumanisasi lewat materialisme baru saja dimulai diantara geladak-geladak kapal mereka.

Mari membaca masa lalu.

 

Kleco Wetan, 12 Maret 2019

Indra Agusta

Tulisan terkait