Menu Close

Kembulan di 37 Rembulan

Catatan merayakan Suluk Surakartan – Bagian 1

Purnama mengintip dari kejauhan, suara pepohonan menyibak ribetnya lalulalang kota dengan berbagai kepentingannya. Malam ini jalma diperjalankan menuju tempat dimana segala sesuatu dimulai dan dengan harapan terus menerus untuk melanjutkan sebagai mana prosesi pemertahanan nilai.

Seperti laju kendaraan bagaimana ketika semua dimulai harus diteruskan, dipilah-pilah, diinstropeksi dalam berbagai kritik dan saran, menimbang-nimbang segala sesuatu dalam semua dinamika yang pernah dihadapi. Tak lupa akhirnya kita merayakannya, sebagaimana adat timur kelahiran menjadi sesuatu yang menarik, membahagiakan, dan sukacita meledak didalamnya.

Malam ini, Jumat Wage 19 Ramadhan 1440 Maiyah Suluk Surakartan mengitari edar revolusi matahari sekaligus bulan pada lingkar ketiga. Tidak mudah menjaga konsistensi, seperti puasa menahan godaan menahan untuk tetap berhati-hati dalam mempublish berbagai kegaduhan ibukota, yang akhirnya berujung pada informasi hoax.

Di dalam bulan puasa ini juga sekaligus diingatkan bahwa puasa adalah proses merawat kontinuasi, selain syariat sebuah agama, puasa adalah produk dari kontinuasi lintas budaya bahkan lintas peradaban dimana banyak sekali budaya yang terus menganjurkan puasa bagi para pemeluknya.

Puasa ini kemudian dirawat berabad-abad sebagai jalan mulia menuju pencipta, jalan sunyi menuju pencerahan, bahkan jalan kebahagiaan bagi mereka yang merawat bumi dan kemanusiaan. Proses ini terus menerus secara konsisten dilaksanakan berbagai umat takhanya umat Islam. Dan Puasa adalah tradisi tua budaya dunia yang istiqomah terus dibersamai sebagai dimensi lain dari pengerukan, kekeringan, kelaparan juga kesesatan yang terjadi sistemik dalam nalar maupun secara jasadiyah dalam korelasinya demi kesehatan pribadi yang me-laku-ninya.

Hal ini pula yang saya tangkap soal perayaan-perayaan lingkar edar Maiyah, dimanapun berada kali ini tentunya Suluk Surakartan. Dalam presisi yang sama konsistensi perjalanan maiyahan adalah sebuah usaha untuk merawat sebuah nilai kebudayaan, bagaimana sebagai sebuah entitas sosial yang terus memberikan nilai didalamnya Maiyah harus terus menerus dijaga keberlangsungannya sebagai ruang untuk ngudarasa, ruang bertukar pikir, ruang untuk thandang bersama, dan panggung bersama untuk mewujudkan nilai mutlak dari kesahajaan kebersamaan.

Akhirnya tumpeng yang tersaji dipotong untuk peringatan, juga sebagai bahan instropeksi untuk merawat kontinuasai juga menyemai kebersamaan. Seperti akar kata dari Kembulan yang memang artinya adalah bersama, di desa saya tradisi ini dikenal dengan bathu . Karena nilai dasar yang mendasari kata adalah kebersamaan maka semangat itu pula yang harus diteruskan, ditransformasikan kesetiap aliran darah hingga relung-relung sistem syarafmu berisi kedamaian dan kerendah hatian.

Kraton Kasunanan Surakarta, 25 Mei 2019

Indra Agusta

Tulisan terkait