Maiyah adalah mata air. Maiyah juga adalah kebersamaan. Dalam salah satu sesi Mbah Nun pernah menyampaikan tentang menebar bibit. Maka, bisa jadi Maiyah adalah cikal bakal hutan yang subur, di mana di sana berlaku hukum rimba.
Hukum rimba yang benar-benar otentik adalah rimba yang sepenuhnya diatur oleh kehendak alam. Hukum rimba yang mana paling lama bertahan adalah yang layak untuk diikuti. Hukum rimba yang besar menaungi yang lebih kecil.
Hukum rimba di mana pohon yang kuat bersedia digayuti pohon-pohon sulur tak berkayu. Hukum rimba di mana pohon-pohon buah tidak pernah menanyakan ke mana larinya buah yang dihasilkan, tidak peduli apakah dimakan kera, burung, codot, atau manusia
Hukum rimba di mana semua tetumbuhan berkembang sesuai kodratnya. Hukum rimba di mana setiap pohon yang cepat bertumbuh dan menutupi pohon lain, maka pohon yang tertutup dari sinar matahari merekalkulasi arah dahan cabangnya atau membesarkan daun-daun agar tetap secara proporsional mendapat cahaya yang dibutuhkan.
Di sana terdapat ribuan “bahasa” yang belum kita pahami, mungkin juga ada umpatan, pujian, atau hal lain. Yang saat ini dapat kita saksikan adalah harmonisasi di segala bidang. Di sana sesungguhnya kita dapat belajar tentang manajemen risiko, manajemen aset, manajemen jaringan, tiga istilah makanan sehari-hari para profesional di dunia manusia. Artinya, sesungguhnya hukum rimba adalah hasil proses kedewasaan, kematangan mental, dan kesiapan untuk bertahan di semua siklus dan tentu saja kegiatan perekonomian sebagaimana akar akar pohon.
Maka, kita masyarakat Maiyah yang setiap saat dihujani dengan segala informasi keilmuan tiada henti, sebagaimana hutan tropis yang subur oleh hujan air, insya Allah akan sampai pada kondisi hutan rimba yang sangat subur. Asal sejak awal menempatkan diri pada kesadaran proses, kesadaran pengenalan diri, dan kemauan merekalkulasi diri sebagaimana pohon yang “kalah cepat” bertumbuh membelokan ranting atau membesarkan daunnya.
Munir Asad