Menu Close

Haji Maiyah

Pada suatu saat, sambil menunggu khatib salat Jumat naik podium, saya sempat menanyakan dalam hati, “apa yang membedakan hari /shalat Jumat dengan hari/ shalat lain?”.

Tiba-tiba saya teringat ujaran teman tentang budaya Jawa zaman dahulu, yang konon sebutannya juga Jemuahan. Para pedagang, petani berdatangan di suatu tempat luas yang dipilih oleh Raja dan juga disediakan area yang dikhususkan untuk manembah, mungkin semacam ungkapan syukur kepada Tuhan, dengan keharusan bersuci terlebih dahulu sebelum masuk di tempat tersebut.

Saya membayangkan, jangan-jangan maksud adanya hari Jumat dengan sholatnya adalah kesatuan satu hari penuh antara kegiatan ekspo produk-produk rakyat sekitar untuk saling dibarter atau diperjualbelikan, kemudian dijeda sholat, untuk kemudian dilanjutkan dengan semacam pertemuan evaluasi, proyeksi yang terarah untuk semacam peningkatan kualitas pada Jumatan berikutnya. Kemudian sedikit demi sedikit berubah menjadi Sekaten.

Bayangan saya berlanjut, jika Jumatan adalah acara tujuh hari sekali, kemudian Haji ke Makkah adalah acara setahun sekali, jangan jangan maksud Alquran “….haji bagi yang mampu dan berkesanggupan” adalah syarat sebagaimana ekspo produk international yang tidak hanya mensyaratkan secara administratif dipenuhi, akan tetapi juga harus menghitung kemampuan produksi suatu barang jika sepulangnya nanti mendapat pesanan yang banyak. Saya membayangkan ayat ayat tentang sa’i antara Shofa dan Marwah adalah lokasi ekspo produksi dari masyarakat sedunia dengan salah satu pokok acara lainnya adalah mengunjungi Ka’bah sebagai pengingat asal mula manusia dengan Mbah Adam sebagai Bapak pemersatu.

Saya semakin jauh membayangkan kemungkinan-kemungkinan lain yang indah-indah. Imajinasi saya sempat terhenti ketika Khatib mulai membuka dengan ritual seperti biasa. Karena materi khutbah Jumat saat itu, kebetulan sudah saya dengar sejak saya masih kecil dibonceng Bapak ke Masjid setempat.

Kemudian kembali saya membayangkan, jangan-jangan acara acara Maiyahan akan sangat menarik jika ada semacam ekspor-ekspo kecil-kecilan sebagai pantikan lebih besar lagi, bahkan lebih “menjemput bola” karena berada di banyak lokasi yang berbeda, yang sangat luas, menemui masyarakat di mana saja, bahkan lebih terbuka lagi karena ini bukan bagian ibadah wajib sebagaimana Jumatan dan Haji.

Tetapi secara bahasa Haji adalah tamu, maka bisa saja siapa pun yang mendatangi acara acara Maiyahan adalah haji-haji Maiyah. Sayangnya, saat saya hendak melanjutkan pengembaraan lagi, imajinasi saya terhenti karena berkumandang Iqomat untuk Shalat.

Munir Asad

Tulisan terkait