Menu Close

Royaltiku Piyeeee

Saya menulis biasanya karena dua hal. Satu, punya duit banyak. Kedua, karena tidak punya duit. Berarti, punya duit atau tidak, saya tetap menulis. Kenapa saya kaitkan dengan uang? Kok tidak dengan yang lain? Perempuan misalnya? Ah, itu masa lalu. Tapi lain kali boleh lah dicoba lagi sih. Kok tidak karena eksistensi? Ya, eksis kan ya butuh kuota data. Atau, menulis menuju keabadian? Ya itu efek yang saya sendiri juga belum bisa membuktikan. Iya, kalau penulis-penulis yang telah tiada, karyanya masih bisa dinikmati bahkan menghidupi banyak orang, menjadi manfaat bagi banyak orang, kan penulisnya sendiri juga belum tentu punya cita-cita sampai sedemikian itu ketika menulis.

Siapa tahu, ketika saya sudah pindah lain dimensi, tulisan saya yang menurut saya begini dan nggak jelas kualitinya ini, nggak punya nasib seabadi para penulis yang sudah panjenengan kenal itu.

Didik? Sopo to?

Tapi, apapun apresiasi panjenengan terhadap tulisan ini, seberapa panjang durasi ingatan panjenengan terhadap muatan nilai tulisan ini, seperti apa efek yang terjadi dalam pikiran dan perbuatan panjenengan setelah membaca tulisan saya yang ini, itu saya serahkan sepenuhnya kepada panjenengan. Karena apresiasi punya beragam metode dan bentuk. Terbentuknya apresiasi juga dipengaruhi ‘ilmu’ yang panjenengan miliki. Sangu atau model keilmuwan itu yang nantinya akan menentukan seperti apa apresiasi panjenengan terhadap cara saya menyampaikan sesuatu melalui tulisan.

Misalnya, ada yang tersulut emosinya, naik pitam, marah-marah, bahkan dalam kadar tertentu hingga menyatakan ingin sekali menghilangkan nyawa saya gara-gara tulisan saya. Memang pernah ada? Ya kali semua harus diceritakan. Kenapa saya bisa bersikap biasa saja, ya karena saya anggap itu bagian dari apresiasi darinya. Eh, saya ralat. Ketika itu saya tidak bersikap biasa saja. Tapi ngewel di dalam kamar kos. Menutup pintu serta jendela. Siapa tahu sewaktu-waktu ada titik merah di dahi saya. Dan bersiap-siap menyobek kertas menulis surat wasiat. “Teruntuk dosen pembimbing skripsi, maaf belum sempat revisi, dan aku mati.”

Sebahaya itukah apresiasinya? Awalnya saya juga nggak percaya. Ah masa, tulisan saya bisa membahayakan nyawa saya. Hingga satu hari ada kabar dari editor penerbit di Jakarta yang mengurusi buku saya dulu. “Mas, bukunya diundur dulu ya. Diutamakan buku yang bertema Pak “J”. Yang kedua sekarang lagi musim razia buku. Takutnya nanti kalau ada apa-apa.” Karena ketika itu pas musim Pak “J” mencuat di permukaan.

Owh, seneng dong buku saya berpotensi untuk dirazia. Ya, berasa jadi rebellion saja. Wuih, saya dong berbahaya. Saya dong, harus diwaspadai. Saya dong kayak penulis-penulis yang dicap bla bla bla oleh pemerintah. Saya dong, penulis berambut gondrong yang punya pemikiran cerdas dan kritis. Dalam hati saya berkata, “Bajindul royaltiku piyeeeeee….”

Setelah keadaan mulai agak bisa dikondisikan buku saya terbit. Ya, yang itu. Soal sarjana yang telat lulusnya. Yang sampulnya kayak warna logo Mc D. Merah sama kuning.

Sekian tahun lamanya tak ada kabar. Editornya juga sudah tak bekerja di sana lagi. Dan hingga kini umpatan, “Bajindul royaltiku piyeeeeee….” masih berlaku.

Kenapa? Di sinilah pentingnya memiliki ilmu dalam mengapresiasi. Kalau saja ketika itu saya cukup jeli membaca kontrak yang disodorkan penerbit, mungkin kejadiannya tidak seperti sekarang. Mungkin masih banyak hal yang bisa kami negosiasikan ulang jika memang tulisan saya dianggap memiliki muatan yang membahayakan. Karena sejujurnya masih banyak tulisan yang menurut saya jauh lebih berbahaya daripada tulisan-tulisan ngawur saya. Dan mungkin saja seperti yang pernah disampaikan senior saya dari Jogja, bahwa melihat geliat dan semangat yang saya miliki dalam bidang kepenulisan seharusnya saya sudah kaya raya. Paling tidak nek Toyota Yaris kebeli. Karena menurut proyeksi beliau, bakal banyak tulisan-tulisan ‘sejenis’ tulisan saya yang bakal membanjiri dunia kepenulisan. Terutama dalam gaya bertuturnya. Dan sekarang hal itu terjadi. Bangga saya? Umpatan itu masih berlaku, “Bajindul  royaltiku piyeeeeee….”.

Karena saya sangat buruk ketika memberikan apreasiasi terhadap karya sendiri, imbasnya saya seperti diece oleh tulisan saya sendiri. Maka saya sampaikan kepada panjenengan semua, mulailah mengapreasiasi hal-hal yang panjenengan lakukan. Berarti narsis? Bukan begitu Mbah. Apreasiasi terhadap diri sendiri itu wujudnya juga nggak harus pamer, narsisme berlebihan. Ya nggak gitu juga. Kalau nggak waspada memang jatuhnya bisa kesana.

Maksud saya gini mas. Mulai melihat lebih rinci apa yang kita lakukan. Misalnya kalau saya menulis ya, mulai belajar banyak soal teknis, makna kata, memperbanyak bacaan, keluar srawung dengan teman, sampai pada tahap tertentu mempertimbangkan resiko. Marai wong nesu, ora terimo, apa nggak. Semoga ahlul management resiko membaca tulisan saya ini. Tolong beri saya ijazah.

Terus, kalaupun arahnya tulisan mau dihubungkan dengan uang, ya dipelajari lebih rinci lagi sambungan-sambungannya. Mau duit yang seberapa? Puluhan ribu? Ratusan ribu? Jutaan? Milyaran? Triliyunan (nek ini jangan jadi penulis, jadi ketua apa gitu mungkin bisa). Semua ada wadahnya.

Gayanya sok ngerti ya? Dan sok pernah mengalami ya? Saya juga masih terus belajar mengapresiasi apa yang saya lakukan kok. Sembari belajar mengapresiasi apa yang dikerjakan orang lain. Kritik, debat, itu juga boleh menjadi wujud apresiasi. Pun ketika perempuan yang kau sukai menolak cintamu, itu juga bagian dari apresiasi terhadap usahamu.

“Sori mas. Penulis sing gak paham duit koyok awakmu, opo iso nguripi aku?”

“Bajindul royaltiku piyeeeeee….”

*Ditulis dengan penuh cinta dan kasih sayang oleh Didik W. Kurniawan

Tulisan terkait