Masih teringat betul Suluk kemarin ketika jalma duduk-duduk di belakang bersama vokalis band Soloensis mas Gema, ngobrol banyak hal ketika mas Wakijo dan sedulur mendendangkan tembang, ketika sebuah lagu yang jalma baru pertama kali mendengar. Judulnya belakangan saya tahu, Mari Pulang. Kenapa spesial, karena terselip mantra di sela lirik berbahasa Indonesia. Mantra ini langsung menarik perhatian jalma, ada apa dengan ini mantra, kok bisa sebagus ini, sedalam ini, pasti ada apa-apanya ini. Saya kurang memperhatikan apakah mas Wakijo menjelaskannya diawal atau tidak, tapi langsung nancep iki ana apa-apane iki mantra. Siapa mau pulang? Silahkan mendengarkan lagunya di Podcast Suluksurakartan atau di Youtubenya mas Wakijo.
Setelah mengorek berbagai informasi di langit-langit, maka benarlah dugaan jalma, ini mantra adalah wejangan dari Sunan Kalijaga ke Sunan Bayat yang sempat direkam di Babad Demak. Ini penggalannya :
“Urip iku ning donya tan lami
Umpamane jebeng menyang pasar”
PASAR DAN HIDUP YANG SEBENTAR
Semua dari kita tahu bahwa sebuah kepastian keniscayaan bahwa setelah kelahiran, kematian akan menyergap kita sewaktu-waktu. Bahkan diumpamakan oleh Kanjeng Sunan hanya seperti ketika kita berbelanja ke sebuah pasar. Saya agak berfikir lama soal kenapa pasar? Kenapa Sunan Kalijaga mengambil idiom ini? Kenapa tidak idiom lain?
Yang pertama terlintas adalah perjalanan itu sendiri. Dari rumah menuju pasar dan pulang lagi, persis seperti manusia yang aslinya tidak ada, mengada sebentar beberapa puluh tahun kemudian meninggal dan tiada lagi. Didalam perjalanan dari rumah menuju pasar tentu jalanannnya berbeda-beda, jalurnya tiap personal berbeda, kendaraan yang dipakai beda, kepentingannya pun berbeda, apa yang dicari juga berbeda, dan jalanan selalu menghadirkan beragam peristiwa, pengalaman bahkan kecelakaan. Dari perjalanan pun kita akan mengenali bahwa di bumi manusia banyak ketimpangan terjadi, ketidakadilan, represi, dan orang-orang yang sebenarnya jauh apa yang diinginkan dirinya sendiri. Tapi ya memang begitulah jalanan dan perjalanan.
Yang kedua rutinitas pasar itu sendiri, pasar adalah miniatur dunia dalam kacamata lain ribuan orang mengunjunginya setiap hari, beragam agama, suku, standar ekonomi, kekuasaan, kepentingan, tumplek blek jadi satu tempat. Ya dunia ini menawarkan banyak hal yang mungkin kita butuhkan, atau cuman kita inginkan, atau malahan iseng kita asal. Tapi demikianlah dunia menawarkan semuanya, tapi memang kita harus membelinya dalam artian manajemen resiko, dengan mengambil suatu apapun akan mengundang resiko dan resiko itu harus ditebus dengan harganya masing-masing, tentu tak seremeh uang saja banyak hal yang harganya dibayar mahal dengan persahabatan, sikap, keberpihakan, atau melawan, atau dibayar nyawa. Semua ada resikonya.
Hal ini nanti yang akhirnya menciptakan skala prioritas terhadap pilihan kalian, prioritas berdasarkan apa yang kalian ingini, apa yang kalian butuhkan atau asal saja memilih. Setiap prioritas akan berefek pada resiko selain dari apa yang kaliann bawa pulang kerumah.
Pertanyaannya jika dunia ini pasar, kalian ingin membeli apa dengan resikonya, kalian ingin berbuat apa dengan resikonya, apa yang ingin kalian jual, apa dari dirimu yang memberikan kemanfaatan bagi orang lain? Karena sejatinya orang berjualan adalah membantu mereka yang tidak sempat membuat tools untuk menyelesaikan masalahnya. Waktumu cuman sebentar dan pasar segera tutup.
“Tan langgeng ning pasar bae
Tan wurung nuli mantuk
Mring wismane Sangkane Uni
Ing mengko aja samar sangkan-paranipun
Ing mengko podo weruha
Yen asale sangkan paran duk ing uni
Aja nganti kesasar”
SEMUA BERASAL DARI BUNYI
Lalu kita segera “pulang” ke rumah segala uni (bunyi), ini part sangat mendalamnya Kanjeng Sunan tidak langsung menyebut Gusti Allah mungkin karena ini dialektika sesama Sunan dalam bahasa sastra yang kuat. Bahwa memang kemana lagi sangkan-paran kita selain Gusti, tapi pemilihan wismane Sangkane Uni, asal dimana segala bunyi berasal. Pikiran saya langsung meloncat jauh ke semua ayat-ayat penciptaan Kun! Fayakun! Atau di taurat juga berbunyi kurang lebih demikian, Jadilah! Maka sesuatunya terjadi. Dan semua terjadi hanya dari kata, dari firmannya Gusti. Sangat-sangat romantis kedua Sunan ini.
Dan demikianlah tidak ada yang tidak mencipta bunyi di dunia ini, gemericik air, tiupan debu, gerak tumbuh biji kecambah, tangan anak yang memeluk kaki bapaknya, rumput yang bergoyang, magma bumi, semua memenuhi semesta dengan frekuensinya masing-masing, baik yang infrasonic maupun ultrasonic baik yang bisa didengar manusia ataupun tidak, yang disingkat lagi bunyi hasilnya frekuensi lalu gelombang, semua digerakkan oleh bunyi, dan cukup aneh sebenarnya bagi saya kenapa ada ajaran tertentu yang menolak musik, padahal semesta itu komposisi musik tersendiri yang siapa manusia bisa menolaknya?
Kita akhirnya menunggu bunyi ini kembali ke sumber bunyi, kita menggaungkan gelombang kita sebentar dipasar gelombang otak, gelombang sistem saraf, gelombang detak jantung yang kemudian menggerakkan apapun untuk hal apapun, dari sini seharusnya manusia akan sangat malu jika hidupnya tidak optimal, hidupnya disia-siakan untuk hal-hal yang tak memberikan manfaat bagi orang lain, umat, alam lantas apa manusia jika hanya larut kepada kedirian dan keegoisannya? Kemana jiwa-jiwanya akan pergi setelah “pulang”? jasadnya akan tapi apa yang akan dibawanya ke Rumah Sumber Segala Bunyi?.
Akhirnya selamat pergi ke pasar dan segera kembali kerumah, membawa apa yang “layak” untuk disajikan di Rumah.
Maturnuwun Sunan Kalijaga. Sunan Tembayat
Mas Wakijo maturnuwun, nyisipke mantra magis niki ten lagune njenengan.
Mugi siap ngge dolan pasar, juk bali mring Wisma Sangkane Uni.
Kleco Wetan, 06 Februari 2020
Indra Agusta