Menu Close

Sinau NgAllah, Sinau Kelembutan Rasulullah

Dinas Kebudayaan kota Surakarta menggelar acara Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng jilid 2 pada Sabtu malam (07/03), bertempat di Pendhapi Gede Balaikota Surakarta. Adapun yang pertama dihelat setahun lalu pada tanggal 20 April 2019 dengan lokasi yang sama.

Seperti biasa, satu hari sebelum acara Sinau Bareng berlangsung, Dinas kebudayaan Surakarta menyelenggarakan event tahunan yakni festival hadrah se-Solo raya (Jumat, 06/03). Solo berkomitmen untuk menjadi kota budaya. Dan salah satu cara yang ditempuh adalah mengadakan festival hadrah. Dimana Sinau Bareng CNKK menjadi momen puncaknya.

Meski ini kali kedua Sinau Bareng di Balaikota Surakarta, namun inilah kali pertama saya berkesempatan mengajak anak (usia 18 bulan) ikut Maiyahan. Di dalam gerobak sejuta umat (baca. Avanza hitam) saya berucap.

“Nak, kita mau halan-halan…(maksudnya jalan-jalan), mau ketemu Simbah.”

“Embah…”, jawab dia dengan wajah semringah.

**

Rintik lembut menyapa. Menyambut jamaah yang merapat di pelataran Balaikota. Lantunan selawat menggema. Mencurahkan segenap rasa para pecinta kepada Sang Baginda. Selepas selawat Mbah Nun mengurai harap, “semoga dari sekian tetes air langit yang mengenai badan kita, ada setetes air Muhammad yang memberkahi hidup kita.”

Gondhelan klambine Kanjeng Nabi menjadi tema Sinau Bareng malam itu. Maka diawal Simbah mengajak seluruh jamaah untuk berselawat. Banyak ekspresi yang bisa dilakukan untuk meluapkan kecintaan kepada Kanjeng Nabi. Berselawat salah satunya. Dan Mbah Nun mengatakan bahwa kita bebas untuk mengarang syair atau lagu-lagu selawat (versi apapun) untuk dipersembahkan kepada Nabi Muhammad.

“Yang tidak mau berselawat ndak apa-apa, tetapi mesti ngalah untuk menghormati yang senang selawat. Yang tidak suka mendengar selawat juga tidak masalah, tapi hatinya paling tidak ngalah untuk memberi ruang bagi yang ingin berselawat. Jadilah manusia yang jembar hatinya”, begitu wejang Mbah Nun.

Ngalah bukan berarti kalah. Belum tentu juga salah. Ngalah adalah sikap berbesar hati untuk menahan ego diri. Tidak egois. Tidak mementingkan ambisi pribadi. Dalam idiom Jawa ngalah disama artikan dengan NgAllah (menuju ke Allah). Artinya tawakal dan berserah hanya kepada Allah. Bahkan di keseharian masyarakat Jawa banyak kita dengar unen-unen yang semakna dengan ngalah, seperti ; walah, ealah, woalah, lah-lah, la dalah, itu semua merupakan impresi setiap kali menyaksikan kejadian diluar nalar manusia.

**

“Kira-kira mana yang lebih kuat, yang lembut atau yang keras?”, seru Simbah kepada jamaah. Kemudian beliau memaparkan lewat analogi sederhana. Sebilah kayu manakala dikapak, ia akan sigar terpecah belah. Bahkan ambyar. Sedangkan air bisakah untuk dikapak? Bisakah dipecah belah? Tidak! Air tidak akan pecah dan mengalami kehancuran meski dikapak ratusan kali. Itulah kelembutan. Lembut lebih kuat dari apapun saja yang keras. “Dan hal paling lembut dari segala jenis kelembutan bernama Muhammad Saw”, terang Mbah Nun.

Kita tentu sepakat, bahwa mencintai Rasulullah tak cukup hanya dengan melantunkan selawat. Dalam banyak kitab fikih disebutkan bahwa Rasulullah Saw selain memiliki Al jamalu waji (bagus rupa), beliau juga dikenal Al jamalu aqli (cakap pikiran). Coro Jawane nggantheng sak kabehane. Yo bagus, yo pinter.

Sehingga mencintai Rasul tidak berhenti di lisan. Tidak sebatas mengagumi semata. Tetapi juga menggunakan konstruksi pikiran (bil aqli salim). Belajar mengaktualkan logika (ilmu mantik), jalan pikiran yang masuk akal ala Rasulullah ke dalam kehidupan nyata.

Terdapat banyak contoh dimana Rasul sangat mengedepankan logika dalam menyikapi pelbagai peristiwa ditengah-tengah ummat. Misal, Rasul tidak memanjangkan bacaan shalatnya ketika mendengar ada anak kecil menangis di Masjid. Alasannya, biar shalat cepat selesai sehingga si orang tua bisa segera menenangkan tangis anaknya. Kepentingan orang lain lebih diutamakan Nabi ketimbang kehendak pribadi.

Nabi pun pernah menerima hadiah dari seorang kafir quraish. Kenapa Nabi tidak menolak hadiah itu, padahal yang memberi seorang tidak beriman. Sebab beliau tidak ingin menyakiti hati siapa pun. Beliau amat sangat menjaga perasaan orang lain. Dengan menerima hadiah tersebut, secara logika Nabi hendak menyenangkan hati si kafir, sekaligus menunjukkan bahwa Muhammad adalah seorang manusia dan Nabi yang berakhlak mulia. Buktinya Ia sangat menghormati siapa saja. Bukankah tindakan Nabi tersebut sangat masuk akal dan manusiawi?

**

Melalui Sinau Bareng Mbah Nun dan KiaiKanjeng di Balaikota Surakarta kemarin, kita benar-benar diajak untuk belajar gondhelan klambine Kanjeng Nabi. Meski gampang-gampang angel, kita mesti latihan mulai dari sekarang.

Gondhelan klambine Kanjeng Nabi berarti belajar mencintai keseluruhan yang ada pada diri Nabi. Sebisa-bisanya. Sekuat-kuatnya. Sesuai kesanggupan masing-masing. Mulai dari memuji dengan lisan dan hati. Mengedepankan logika, yakni cara berfikir yang rasional dalam menyikapi setiap kejadian. Hingga menampilkan perangai lembut dan bijak dalam hidup bebrayan, selaras yang dipresentasikan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Dengan begitu Islam akan menjadi agama yang mudah, ramah, dan rahmah.

Shallu ‘alan Nabiy Muhammad.

Gemolong – Solo, 09 Maret 2020

Muhammadona Setiawan

Petikan Hikmah Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng, Sabtu, 7 Maret 2020, di Pendhapi Gede Balaikota Surakarta

Tulisan terkait