“Orang baik tak bisa mati,
karena kebaikan lebih kuat dari kematian.
Orang yang berhati emas adalah matahari yang menyinari dunia,
Jika ia meninggal, mataharinya berpindah dari langit ke dalam setiap jiwa manusia”
– Emha Ainun Nadjib
Kematian selalu menawarkan kesedihan sekaligus kebahagiaan, dan manusia seperti selalu ingin bertemu dengan transisi ini. Tapak demi tapak hidup dijejaki dengan penuh rekam peristiwa, seperti doa-doa yang juga memuat beragam dialektika kesunyian manusia. Ajal kemudian menjawab segala sesuatunya, tidak bisa disangkal, dan manusia lain sebagai jalma yang ditinggal ‘pulang’ harus semakin menyadari bahwa hidup terkadang seperti randhu buahnya tiba-tiba pecah dan menawarkan kesan mendalam disetiap hati mereka yang pernah bersentuhan dengan sang subjek. Hari ini, kembali lagi saya menemukan lagi betapa bagaimapun kita harus merayakan kematian, namun terasa pula sedihnya.
Syaikh Prof. Dr. Muhammad Nursamad Kamba, Lc, MA berpulang, demikian pesan singkat yang saya terima dini hari, mau bagaimanapun kabar kematian beliau ini tetap mengagetkan saya secara pribadi.
Buya, demikian beliau sering dipanggil oleh orang-orang sekelilingnya. Pribadi yang sangat halus, lembut dan begitu hati-hati dalam berucap. Buya bagi kami yang sering mendatangi forum-forum Maiyahan adalah manusia spesial, rujukan ilmu, rujukan laku. Sebagai seorang akademisi yang menghabiskan studinya dari S1-S3 di Kairo, Buya tetap pribadi yang sederhana, tidak melulu serius, selalu menyempatkan diri untuk membalas satu persatu komentar di facebook, di Twitterpun begitu Buya menanggapi beragam respon seperti seperti teman dekat.
Perjumpaan pribadi saya juga belum lama, entah, meskipun sudah mengikuti akun media sosial beliau ada rasa segan jika ingin menanggapi apa-apa saja yang dilempar beliau. Sampai suatu ketika saya merespon beliau menyoal “peniadaan diri” sebagai aktualisasi jalan berketuhanan. Karena bagi Buya tidak ada jalan lain yang lebih optimal menuju Tuhan selain meniada. Disitupun beliau menjelaskan tidak ruwet memakai istilah akademis, namun sesederhana “jika kamu meniada, Tuhan akan meng-ada, jika kamu meng-ada maka Tuhan akan meniada”. Bahwa lewat peniadaan diri manusia akhirnya memberikan fungsi lain dari perwujudan dan kelahirannya di dunia. Yaitu fungsi kemanfaatan, fungsi bermanfaat inipula yang sering dibahas sebagai puncak kualitas manusia di dunia, sebagai Abdi, pengabdi, sebagai abdan-abdiya.
Ketika kamu menyisihkan egomu dan mulai berbagi peran, fungsi, ruang-ruang dan beragam tindakan untuk kebaikan banyak orang, alam sekitar, manusia akan diantarkan lagi pada level spiritualitas berikutnya sebagai luncuran pendaran cahaya Tuhan yang kongrit dan bisa dirasakan manfaatnya. Bagi pelakunya hidup akan menjadi lebih tenang, menikmati semua peristiwa dalam keseimbangan, serta tidak jarang akan mengalami prosesi keintiman bertemu dengan Sang Maha. Emanasi.
Emanasi adalah tema berat yang ditulis oleh Syaikh Akbar Ibnu Arabi, kitabnya yang fundamental Futuhat al-Makiyah adalah kitab berat yang pernah buya pelajari, kemudian saya dan banyak orang lain mencicipi khazanah Ibnu Arabi lewat buya. Tentu dengan penjelasan yang lebih sederhana dan lebih mudah dicerna oleh kaum awam seperti saya. Bagaimana proses ‘pendaran’ cahaya Tuhan ini merupakan proses yang terjadi terus menerus dalam diri semesta termasuk manusia. Kalam-kalam penciptaan, Kun! Ini merupakan rentetan skema yang tidak berhenti berlangsung, dan manusia sebagai ciptaan yang mampu mendefinikan rahsa dalam tataran tertentu akan menemukan ‘pertemuan intim’ ini dalam beragam kekhusyukan, perenungan, juga momentum-momentum tertentu yang sukar dijelaskan.
Saya masih ingat cerita ketika Iksan Skuter menyanyikan lagu “doa dimana-mana” dalam rangkaian perayaan milad Maiyah Lingkar Daulat Malaya, Tasikmalaya, Mei 2019. Ketika itu Buya duduk didepan diapit oleh Mas Harianto, Mas Deni Weje dan Sastrawan Asep Zam-zam Noor. Buya meminta lagu tersebut diulang lagi, lalu menjelaskan keadaan spiritual bernama Tajjali. Ditengah-tengah pembicaraan, kata-kata tercekat, Buya meneteskan air mata, sedikit terlihat sesenggukan, sembari mengusap air matanya dengan tissue. Semuanya menjadi hening, dan momentum keberadaan Tuhan terkadang mengalir begitu saja, melalui apa saja. Dan keberkahan bagi kawan-kawan LDM malam itu.
Otoritas dan pemadatan agama
Khazanah berikutnya yang cukup fundamental dikemukakan oleh Buya Kamba adalah munculnya ‘padatan-padatan’ agama tanpa diimbangi oleh proses internalisasi. Proses pemahaman agama harusnya membangun kesadaran diri, perenungan ke dalam diri lalu memunculkan aktualisasi sebagai wujud ‘pendaran Tuhan’ dan lagi-lagi peniadaan diri menuju kemanfaatan. Dan agama sekarang hanya berhenti pada proses indoktrinasi yang kemudian memunculkan ‘institusionalisasi agama’ yang hanya menjadi ajang eksploitasi dan manipulasi firman Tuhan untuk kepentingan kelompok.
Seperti berkaca kepada apa yang telah saya pelajari sebelumnya, ada bentuk-bentuk yang rumit yang kemudian aktualisasinya justru berkebalikan dari pesan-pesan kalam Tuhan. Bahwa pemadatan agama kemudian menjadi ajang berburu panggung, mencari kepentingan politis-ekonomi, juga sejarah sempat merekam bahwa pemadatan agama menjadi mesin pembunuh jutaan manusia ketika terlalu menuhankan bentuk dan mengabaikan fungsi.
Kritik ini saya pelajari berulang-ulang lewat tulisan-tulisan beliau. Sebagai pengingat juga sebagai lambaran bahwa manusia beragama adalah soal menyampaikan kabar gembira, memberikan banyak peran untuk mengurai beragam permasalahan disekeliling.
Lalu yang sangat berarti adalah mempelajari Nabi Muhammad SAW sebagai manusia. Bagaimana prosesi kenabian berlangsung, dari Syaikh Nursamad pula akhirnya saya tahu bahwa Waraqah bin Naufal sepupu Khatidjah adalah seorang Presbyter Kristen bermahzab Nestorian. Informasi detail-detail ini tidak dapat saya temukan sebelumnya, karena akhirnya cuman jadi sarana memunculkan terminologi harmoni bahwa yang meneguhkan kenabian Muhammad SAW justru orang Kristen. Tapi kristen yang mana? Buya Kamba yang memberikan pencerahan, dengan kunci-kunci ini akhirnya memang ada alasan mendasar kenapa Waraqah menjadi manusia mula yang tidak menolak pewahyuan kepada Nabi.
Tentu tak lupa pada karya terjemahan beliau berjudul Sejarah Otentik Nabi Muhammad SAW. Buku ini berjudul asli Dirasat fi al Sirah Al-Nabbawiyyah karya Prof. Husain Munis, buku yang mengajak kita mempelajari Nabi Muhammad berdasarkan riset historis. Dengan rujukan data yang sangat banyak di akhir buku. Mempresentasikan sisi-sisi manusia nabi dari ketakutan jelang diturunkannya wahyu, memburuknya kondisi kesehatan, sampai kematian, dst. Sangat menarik.
Air mata tak berhenti menetes,
Baru beberapa malam yang lalu saya mampir ke rumah mas Aziz ‘kenyot’ di Randusari. Juga sempat bercerita tentang zuhud. Ketika mas Aziz berkunjung ke kediaman beliau, sikap beliau dalam menerima tamu, menghormati dan menyenangkan orang-orang yang main ke rumah mereka adalah contoh laku yang tak bisa disanggah. Keramahan sampai makanan yang terus menerus bersambung menemani setiap obrolan. Bagaimana manusia selalu menempatkan diri untuk tetap rendah hati, dan menjadi ruang-ruang penerimaan untuk banyak orang.
Atau cerita kawan yang menjadi mahasiswa beliau, bahwa Buya tidak pernah sekalipun membuka gawai ketika mahasiswanya presentasi, sangat bersungguh-sungguh memperhatikan paparan, dan tak ketinggalan pula selalu punya catatan kecil atas paparan yang berlangsung. Menghormati manusia.
Akhirnya maturnuwun, syaikh, atas semua ilmu yang njenengan berikan. Beragam sari khazanah dari Ibnu Arabi, Ibnu Taimiyah, Imam Junaid Al-Baghdadi, tentu perjumpaan njenengan dengan Mbah Nun segala ulang-alik kemesraan akan ilmu, dialektika, dan cerita-cerita tentang laku seperti menjadi lengkap, jangkep.
Selamat berpulang, selamat menikmati perjalanan kembali, seperti yang berulang kali engkau bicarakan “peniadaan diri akhirnya menjadi satu-satunya jalan kebersatuan dengan Tuhan”. Selamat berjumpa dengan Sang Kekasih.
Swarga langgeng, Buya
Surakarta, 20 Juni 2020
Indra Agusta