Menu Close

Di Tengah-tengah = Waspada = Takwa

Ada unen-unen Jawa yang berbunyi, geting nyanding. Artinya, awalnya benci lalu jadi suka, lantas hidup bersama/ bersanding (menikah). Dan terbukti. Itulah rupanya yang dialami oleh seorang perempuan yang kini telah sah menjadi istri saya.

Ceritanya begini.

Awal perjumpaan kami dimulai saat saya diterima sebagai tenaga pengajar di sebuah Sekolah Dasar. Dimana istri saya (yang ketika itu belum menjadi istri) bekerja di instansi yang sama.

Menurut penuturan dia kala itu, gaya bicara saya sok cool, sok asik, dan pede abis. Apalagi kalau pas jalan dengan posisi kedua telapak tangan dimasukkan ke saku celana, katanya terlihat tengil, angkuh, bin sombong.

Intinya, istri saya dulu itu eneg campur gedeg ketika berpapasan, atau terlibat obrolan bareng saya. Wis pokokè suebel tingkat dewa. Namun ajaibnya, seiring bergulirnya waktu kami mulai dekat dan akrab. Dan tak lama kemudian kami pun mengikat janji suci pernikahan.

Benar kata orang Jawa, geting nyanding. Yang awalnya benci bisa berubah menjadi cinta.
**

Secarik kisah diatas menegaskan kembali bahwa dalam hidup ini jangan bersikap banget-banget. Jangan over, lebay, atau berlebih-lebihan. Kiranya ini berlaku dalam konteks apapun.

Kalau seneng ya jangan seneng banget, kalau sebel ya jangan sebel banget. Kalau hidup jangan boros-boros, tapi juga jangan terlalu ngirit. Kuncinya biasa saja. Sedang-sedang saja. Atau ditengah-tengah.

Ini senafas dengan kalam Tuhan, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)

Dari kisah dan ayat di atas, kita belajar dan berlatih kembali tentang pentingnya sikap di tengah-tengah. Sebab apa yang kita benci belum tentu buruk bagi kita, dan yang kita sukai belum tentu baik untuk kita. Bisa jadi malah sebaliknya.
**

Di Maiyah kita terus mengasah kepekaan itu (ditengah-tengah). Melihat, menilai, atau memutuskan segala sesuatu secara luas dan jernih. Tidak grusa-grusu, ngawur, apalagi srampangan. Pun setiap ada isu, kabar, atau berita yang beredar tidak asal lempar komen. Menuduh, mencemooh, apalagi menghujat dengan sumpah serapah. Semua mesti diolah dengan dasar logika, kapasitas ilmu, dan iman. Agar lahirnya keseimbangan cum kebijaksanaan.

Allah sendiri menyebut ummat Islam sebagai ummatan wasathan (kaum penengah). “Demikianlah Kami telah menjadikan kalian sebagai umat penengah agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (Al-Baqarah: 143)

Dalam hal ini, Mbah Fuad menjlentrehkan pada kita tentang makna Wasathan yang amat beragam tapi sejalan. Wasath antara lain bermakna penengah, di antara dua ujung, sedang, cukup, adil, terbaik, moderat, tidak berlebihan, proporsional, tidak gebyah-uyah atau over generalisasi, dan toleransi (tasamuh).

Sikap ditengah-tengah ini rasanya sangat pas kita praktikkan di masa sekarang ini. Dimana setahun lebih dunia limbung diterjang pandemi. Wabah yang melanda seantero bumi akibat serbuan makhluk mikro bernama coronavirus. Yang nyatanya mampu memporak porandakan segala aktivitas hidup manusia (sekolah, ibadah, kerja, mata pencaharian, dll)

Parahnya, silang sengkarut pro dan kontra masih menggelayut di benak masyarakat. Apakah maraknya kematian demi kematian benar-benar disebabkan oleh “hantu” corona?

Corona itu ada, dan berbahaya (terlepas motif dan konspirasi yang menungganginya). Meski berbahaya, tidak lantas kita menjadi parno, minder, atau merasa takut yang berlebihan. Tapi juga jangan berlaku sembrono, terlebih lagi menyepelekan.

Kita sudah paham rambu-rambu pencegahannya. Taati prokes, jaga imun, jaga kesehatan adalah langkah preventif jasmani kita. Selain secara fisik, ikhtiar rohani juga mesti kita tempuh. Dengan apa?

Virus covid-19 adalah makhluk super kecil, hampir mendekati gaib. Dan satu-satunya Subjek yang mengetahui yang gaib dan yang nyata adalah Allah Subhanahuwata’ala (‘ālimul-gaibi wasy-syahādah, Al Hasyr 22). Maka sangat logic dan wajar apabila berdoa memohon perlindungan kepada Yang Maha Tahu dan Maha Menciptakan makhluk kecil berbahaya (Corona) itu menjadi ikhtiar rohani kita. Upaya pencegahan secara jasmani dan rohani mesti seimbang. Seiring, sejalan.

Dan ternyata dalam berdoa pun kita dianjurkan untuk meletakkan diri pada posisi ditengah-tengah. Yakni ditengah-tengah rasa takut (doa tidak akan diterima) dan harapan (doa akan dikabulkan). Kenapa demikian? Agar kita tidak menjadi orang yang keweden (terlalu takut), sekaligus kewanen (terlalu berani). Sebab keweden dan kewanen sama-sama tidak baik. Dan posisi ditengah-tengah antara keweden dan kewanen ialah WASPADA. Kata Mbah Nun, bahasa islamnya adalah TAKWA.

Wa lā tufsidụ fil-arḍi ba’da iṣlāḥihā wad’ụhu khaufaw wa ṭama’ā, inna raḥmatallāhi qarībum minal-muḥsinīn.
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al Araf ayat 56)

Apapun yang terjadi, bagaimana pun keadaan kita saat ini, mari terus semangat untuk melanjutkan hidup dengan presisi (ditengah-tengah) kewaspadaan terhadap alam sekitar, serta ketakwaan total kepada Tuhan.

Hasbunallah wa ni’mal Wakil, ni’mal Maula wa ni’man Nashir.
Allahumma Sholli ‘ala Sayyidina Muhammad wa’ala Alihi Washohbihi Ajma’in.

Gemolong, Juni-Juli 2021
Muhammadona Setiawan

Tulisan terkait