Manusiawi bila orang merasa kepengin diorangkan. Nyeleneh dan mengundang tanya bila ada orang memilih di-asu-kan atau di-cethul-kan. Lazimnya, orang menyimpan rasa ingin dihormati, dihargai. Lara hati bila di-paido, diremehkan, dimentahkan. Terlebih dengan gestur, mimik, dan ujaran ketus di depan mata.
Tapi tak mutlak. Ada masa ketika orang lebih merasa nyaman, mungkin pun aman, bukan bila dapat sanjungan. Melainkan sebaliknya, direndahkan. Oh, bukan. Lebih tepatnya, sebenarnya, ia salah tingkah saat disanjung, dan ekspresi kesalahtingkahan itu berujud sikap penolakan. Yang sebenarnya penolakan semu. Iya di luar, tidak di dalam. Dan, tradisinya sanjungan itu malah berbuntut bullying terhadapnya. Membuat ia jadi spesies minoritas yang tertutup tabir dari kaum mayoritas. Yang kondisi ini membuatnya seperti dipenjara, atau dikarantina. Tidak bebas berekspresi bersama kawan-kawan sejawatnya. Aku mengatakan ini bukan tak berdasar. Aku punya dasar. Dasarku adalah pengalaman. Masa kecil dulu.
Aku mengalami hidup di dua iklim yang berbeda. Di Gesi, Sragen dan Selo, Boyolali. Yang aku gambarkan pada paragraf kedua adalah di Gesi. Di Selo sebaliknya. Seperti paragraf pertama. Dan iklim ini yang dominan kutemui di masa-masa berikutnya dan tempat-tempat berbeda. Entah memang begitulah mayoritas manusia di dunia, atau ndilalah, Allah menghadapkanku dengan orang-orang tipe rindu diorangkan.
Berulang kali aku berpikir. Mengapa aku diperjumpakan, bahkan didekatkan, dengan orang-orang yang ingin diorangkan? Orang-orang itu selalu refleks bersuara menggelegar. Kalimat dan narasi dari bibir mereka menjadi panggung yang membuat diri lebih tinggi dari aslinya. Mereka ingin tinggi seperti sosok dalam hayalan atau orang lain yang pernah dilihat. Nyata atau film belaka. Mereka ingin tampak lebih tinggi, makanya naik ke panggung yang dibangun sendiri. Panggung berkaki styrofoam yang dibentuk dan dikelir mirip konstruksi baja. Panggung yang berbahaya. Mungkin mereka sudah memaklumi risikonya. Mungkin juga tidak. Panggung yang dibuat oleh lisan belaka. Panggung yang sanggup bertahan sekedipan mata. Pengundang tawa cerca.
Narasi yang dilontarkan seperti sepotong roti. Dibuat dari sesendok tepung diberi ragi. Dioven jadi sebesar genggaman tangan. Hiperbolis. Mengantuk aku mendengarnya. Juga enek, pengin pergi saja. Ya Allah, mengapa aku Kaupertemukan dengan mereka? Apa agar aku melakukan hal senada? Oh, lalu Engkau murka. Tidak! Mungkin Kau sedang mencoba. Menguji kesabaranku, kesyukuranku: menjadi diriku yang asli. Oh, rupanya aku pernah meniru lukisan mereka. Aku sedang mencari jawab. Apakah untuk menjadi besar aku harus naik panggung fatamorgana, harus meragi diri agar terlihat berlipat besar dari yang asli. Apa harus memalsu diri begitu? Ah, tidak. Aku tahu jawabnya karena lantas bertemu dengan orang yang tak besar juga. Dan yang dulu kukira besar, ternyata pun tidak. Besar roti semua. Oh, aku tahu singkong rebus lebih sehat dan bergizi. Kembali kujadi diriku sendiri. Aku yang asli. Yang abai komentar orang. Yang nyeleneh. Yang ori.
Di dunia ini, hal yang patut ditertawakan adalah orang yang menyombongkan ketinggian ketika dirinya berdiri di atas panggung. Menyombongkan badan kekar dalam balutan jaket tebal. Sombong adalah laku nista. Lebih-lebih sombong jenis ini. Sungguh memalukan. Pun memilukan. Karena itu penipuan, ngapusi. Ngapusi guna menutupi, mendempul, memoles wajah yang asli. Bertaruh dosa dilakoni. Itu hanya dilakukan oleh orang yang rendah diri. Meyakini bahwa dirinya rendah, maka ingin ditinggikan. Menyadari bahwa dirinya kecil, maka ingin dianggap besar.
Secara psiko-alamiah, orang cenderung melangkah menuju zona nyaman. Zona ini berada di pertengahan, bukan di ketinggian atau pun di bawah sana. Di atas hayup-hayupen. Khawatir jatuh atau tersapu angin. Di bawah merasa sesak. Khawatir terinjak atau diterjang banjir. Maka nalurinya senantiasa bergerak menuju ke tengah. Yang di atas turun. Yang di bawah naik.
Artinya, sudah bisa ditebak. Orang penuh kesyukuran, qana’ah, percaya diri dengan keadaannya, dan ikhlas, yang berarti ia merasa sudah berada di atas, akan cenderung bersikap rendah hati. Secara alami, refleks, menghindari kesombongan, bangga diri, pamer. Sengaja menutup-nutupi peran dan kebiasaan baik diri sendiri dan pihaknya. Berpura-pura bodoh, pas-pasan, jelata. Bahkan kadang terpaksa bohong demi kebaikannya tersembunyi. Hatinya risih bila dianggap tinggi, mulia.
Sebaliknya. Orang yang merasa dirinya berada di bawah. Yang berarti batinnya belum bisa menerima kenyataan, merasa belum beruntung, bernasib malang, dan tentu saja belum ikhlas, akan cenderung mengunggul-unggulkan diri dan pihaknya. Berlagak shalih, sok pintar, dst. Terbiasa memamerkan peran baiknya dengan kata-kata yang tak jarang hiperbolis. Suka mengklaim bahwa dirinya berperan di sini dan di sana, berjasa dalam melahirkan ini dan itu, dsb. Medsos menjadi corongnya.
Begitu.
Sekarang mari kita tatap diri masing-masing. Aku menatapku, kamu menatapmu. Lalu temukan jawaban, termasuk orang rendah diri atau percaya dirikah kita? Ingat, Allah tahu persis dan menilai setiap manusia!
Ibudh