Menu Close

Gunawan Maiyah Dan Otokritik Hulu Alengka

Salah satu tokoh pewayangan yang saya sukai adalah Gunawan Wibisana adik dari Raja Alengka, Rahwana. Perwatakannya yang halus serta sikap satriya justru memancar berkebalikan dengan sikap kakaknya.

Sebagai satriya tentu dia harus berbudi bawa laksana, tapi bukan perkara yang mudah menjadi satriya di Negeri yang buas, kalau dulu Suluk Surakartan pernah mengambil tema Satriya Nagara Liya, mungkin Gunawan Wibisana ini Satriya Salah Nagari. Dengan sikapnya yang lembut nampaknya sangat kontradiktif jika kita menyandingkannya dengan Raksasa-Raksasa di Negeri Alengka.

Hal ini pula yang akhir-akhir ini menjadi pemikiran mendalam saya, tiap “tetes” yang mengalir dari Semesta Simbah seperti terus mengingatkan saya pada keadaan Negeri Alengka. Hingga akhirnya terciptalah tulisan ini.

Sebagai seorang yang sering mengikuti perjalanan beliau, ngelmu, hampir semua gagasan simbah, kemudian beranak-pinak dalam berbagai perhitungan pemikiran seringkali saya ini merasa kesepian, karena dunia berjalan benar-benar berjalan bertolak belakang dari apa yang saya inginkan, atau yang muncul dari semua pemikiran tulus setiap maiyahan.

Saya mengibaratkan Orang Maiyah, anak cucu Simbah ini seperti Gunawan Wibisana yang hidup dengan para Raksasa-Raksasa. Silahkan keluar dan amati sendiri banyaknya Raksasa Lokal maupun Interlokal yang taringnya semakin menyeringai, semakin haus darah, oh bahkan sekarang Haus Laut, Darat, Pulau, Perumahan Hingga ditemukannya cadangan Minyak di Serambi Alengka, yang kalau kita tidak awasi bersama akhirnya jadi rayahan mereka. Demikian buas dan rakusnya raksasa-raksasa itu.

Sementara kita sama sekali tidak mau merakusi itu semua, hanya mengambil secukupnya untuk makan sehari-hari, karena juga berhitung untuk mewariskannya kepada anak cucu kita. itupun secara tidak langsung kebutuhan sehari-hari kita masih dikontrol Rahwana yang bermuka 9 itu.

Lebih lanjut soal menjadi Satriya adalah beraninya kita mengkritik diri kita sendiri, yang oleh kalangan akademisi disebut otokritik. Akan sangat mudah dengan melihat kondisi Alengka sekarang, banyak hal yang tidak berada pada tempatnya, hingga dari kalangan satriya rakyat, satriya mahasiswa, sampai satriya baja hitam membicarakan hal-hal diatas diforum-forum bahkan membuat aksi untuk kritis pada diri kita, Alengka kita.

Tapi jika kita mengambil ilmu dari Gunawan Wibisana, dia mengambil langkah yang berani bukan hanya sekedar otokritik biasa, namun memikirkan dahulu untuk kemudian menuju hulu permasalahan yang tak lain kakaknya sendiri. Pertanyaannya Berapa banyak dari kita berani mengkritisi hulu masalah, dibalik investasi sawah ternyata kita satriya-satriyanya enggan nyawah, atau kita yang terus menerus nongkrong di cafe Raksana, daripada warung soto Alengka, demikian banyak rentetan masalah yang kita tidak berani otokritik, mengkritisi diri kita sendiri.

Lalu kampung saya Sukowati ramai dengan maraknya begal di jalan-jalan sepi, bandar-bandar narkotik, Atau penutupan “Warung remang di makam pinggir waduk” akhirnya melahirkan pelacur-pelacur baru yang usianya jauh dibawah usia saya. Ironis sekali. Mereka yang oleh Pemerintah Alengka digadang-gadang sebagai Pewaris tahta, Surplus Demografi akhirnya cuman diisi oleh generasi linglung, yang buas dan materialistik. Sementara Guru, Orangtua dan jaksa hanya melihat riak-riak masalah, tanpa mau menelisik hulunya, sistem pendidikannya, cara didik orang tua, tontonan dan input ke otak mereka setiap hari, bagaimana mereka ditimang jaman, dihimpit keadaan, juga tekanan dari dalam keluarga mereka, hingga outputnya hanyalah kuda-kuda yang lepas dari kekangan.

Generasi apa ini, zaman apa ini, atmosfer apa ini, dimana-mana linglung dan buas, kita tahu, kalian tahu, orang maiyah tahu, Gunawan Wibisana tahu, bahwa Rahwana ada dibalik ini semua.

Dan kita tak bisa apa-apa, maiyah tak bisa apa-apa, hingga kita perlu banyak wening cipta memohonkan pada Gusti, supaya segera ditolong ini negeri, berani otokririk mencari hulu dari rumitnya permasalahan negeri dan kita terus memohon semoga selamat seperti Gabah den Interi. Semoga Gusti segera mendengar segala keluh kesah, ucapan syukur dan permohonan kami.

Selamat Hari Wayang Sedunia


Sragen, 8 November 2017

Oleh: Indra Agusta

 

Tulisan terkait