Nikmat Tuhan mana yang engkau dustakan? Apakah engkau berani mendustakan nikmat dari Tuhan? Yang namanya kenikmatan, semua orang pasti menginginkannya. Wong hidup itu kalau tidak nyaman juga susah. Hidup kan nyaman menyamankan, enak mengenakkan, dan senang menyenangkan.
Memangnya ada orang yang sudi hidup sengsara? Coba lihat di sekitarmu, yang terlihat sengsara saja masih bisa prengas-prenges ketika kopi dan kretek ada di depan mata. Bahkan ada yang tertawa terkekeh-kekeh ketika membaca koran yang memberitakan kegiatan kampanye calon presiden.
Ada lagi yang lebih terlihat sengsara. Pakaiannya compang-camping, ada pula yang tidak memakai busana, rambutnya kotor dan sepertinya tidak pernah mandi, tetapi wajahnya ceria dan bahagia. Saya kira, anda bisa menjadikannya inspirasi dan motivasi hidup. Tidak susah mencarinya. Anda tinggal menyusuri pinggiran jalan raya, pasar atau ke rumah sakit jiwa terdekat.
Ada teori kebahagiaan sederhana seperti ini,
“Merokok mengurangi umur 5 menit dan tertawa menambah umur 10 menit. Jadi, jika merokok sambil tertawa untung umur 5 menit”.
Lalu kawan saya menambahi,
” Melihat wanita cantik umur bertambah 15 menit. Jadi, jika merokok sambil tertawa dan melihat wanita cantik, mendapat laba umur 20 menit. Lumayan”.
Hampir setiap habis Maghrib saya diajak ke angkringan. Antara pukul 7 sampai 8 malam adalah waktunya mahasiswi-mahasiswi keluar mencari makanan. Penampilan kawan saya itu bisa dibilang ora mbejaji. Celana sobek-sobek, matanya pucat pasi dan bibirnya kering meringis ketika melihat mahasiswi datang membeli makanan di angkringan. Sepertinya memang sudah tidak ada kesengsaraan di dunia ini. Semua orang punya kreatifitas untuk mengusir kesengsaraan tersebut. Termasuk kawan saya ini.
Di zaman ini, kenikmatan dalam hidup mudah dicari. Tempat-tempat indah sudah mulai bermunculan sehingga semakin mudah menjumpai kenikmatan. Yang kelihatannya tidak indah pun ternyata dapat diindahkan. Orang-orang berbondong-bondong menghampirinya untuk menikmati keindahan dan mengindahkan kenikmatan walaupun harus membeli dengan biaya yang besar.
Adakah yang berani mendustakan keindahan dari Tuhan? Kalaupun ada, pasti ia akan diolok-olok oleh kawan-kawanya.
“Dolanmu kurang adoh, kopimu kurang kenthel!” Walaupun yang mengatakan itu kopinya hanya kopi sachetan. Parahnya, ia akan terbuang dan terasingkan dari kawan-kawan pemburu keindahan Tuhan tersebut. Keindahan baginya hanya berada pada kepulan asap yang membumbung dari secangkir kopi dan dua batang kretek. Sebenarnya sih, itu hanya pelariannya saja karena uangnya hanya cukup untuk membeli itu.
Sepertinya memang tidak ada yang mendustakan keindahan dari Tuhan. Mereka berlarian ke pantai, puncak gunung, tebing curam, mengarungi laut, bahkan mengabadikan momen terindah di ladang jagung milik tetangganya. Lalu dipamerkannya di jejaring sosial sehingga membuat orang lain ngiler.
Memburu keindahan dari Tuhan itu keluar biaya sebesar apapun tidak menjadi masalah dan pasti ikhlas, asalkan sepadan dengan hasil “like”, dan komentar. Keindahan memang sederhana. Tidak terletak pada awan tebal di atas gunung, deru ombak , dan pelangi di senja hari. Namun, keindahan terletak di depan tanda “like'” dan komentar. Sehingga orang yang belum sempat berkunjung ke tempat itu dapat menikmati keindahan yang dibagikan melalui media sosial.
Kecuali kawan saya. Lha wong hidupnya saja penuh pertaruhan antara nasi bungkus dan satu bungkus rokok. Ia harus memilih salah satu kok malah disuruh melihat foto di media sosial. Tambah ongkos lagi untuk membeli kuota internet. Belum lagi jika menemui ketidakberuntungan ketika ia melihat foto wanita yang ada laki-laki di sampingnya. Keindahan yang ia dambakan pasti berubah menjadi hutan belantara. Ada kera, anjing, bajing, singa dan masih banyak lagi hewan yang berkeliaran bebas.
Bagi saya, kawan saya tersebut adalah sesuatu yang paling indah dan gratis lagi. Tidak perlu keluar ongkos sepeserpun. Walaupun terkadang harus rela berbagi beberapa batang rokok dan koneksi internet. Mungkin memang keindahan yang benar-benar gratis ada di hutan belantara.
Oleh : Athar Fuadi