Momen Idul Fitri selalu memberikan keceriaan yang beragam. Bahkan sebelum hari H tiba. Aroma dan nuansa lebaran sudah merebak dan berhembus dimana-mana. Pasar, toko, mall, masjid, rumah sakit dan berbagai tempat berlomba-lomba memasang atribut Lebaran. Perusahaan dan instansi siap bagi-bagi parcel dan THR kepada pekerja dan karyawan-nya. Sementara dijalan raya penuh sesak dengan kendaraan, dimana gelombang manusia rela antre panjang, kehujanan kepanasan tak jadi soal demi satu tujuan. Mudik ke kampung halaman. Dari kota ke desa. Dari perantauan kembali ke kandang. Kesemua itu adalah tradisi turun temurun yang telah mendarah-daging di kebanyakan masyarakat kita. Idul Fitri adalah ‘pesta-pora’, bercengkrama bersama keluarga, sanak saudara, makan besar, bersalaman dan saling memaafkan.
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Walillah ilham
Sudah dua tahun ini saya kembali menetap hidup didesa. Itu artinya dua kali pula saya menikmati Idul Fitri dikampung sendiri. Tidak ada perbedaan mencolok perihal kebiasaan orang-orang ketika Hari Raya tiba. Pagi-pagi masyarakat berduyun-duyun ke tanah lapang untuk menunaikan sholat I’d berjamaah. Dilanjutkan sesi salam-salaman atau populer di sebut Halal bi halal. Sungkem kepada orangtua, mertua atau yang masih jomblo ya ke calon mertua juga bisa, seperti saya (hehe), ke mbah-mbah sesepuh, kerabat, teman, handai tolan dan tak lupa tetangga kiwo tengen-nya. Ada juga yang lanjut nyekar, tabur bunga, ziarah ke makam orangtua atau leluhur yang telah dulu meninggalkan dunia.
Usai tunaikan sholat Id dan sungkem sama bapak-ibu, saya langsung menuju dapur. Dalam perut sudah terdengar suara biola yang menggesek, bas betot berdentum dan alunan flute yang mengiris mendayu-dayu. Perut saya keroncongan. Lapar karena tadi malam tidak sempat makan.
Saya ambil satu setengah entong nasi, kemudian membuka tutup panci yang berisi opor ayam. Menu khas lebaran. Diaduk-aduk, mana yang mau saya ambil. Dan bagian yang paling saya suka dari ayam adalah kepala (ndas ayam). Dikepala ayam terdapat tiga bagian lagi yang selalu menggoda selera, yaitu kulit, mata dan otak. Ketiga bagian tersebut memiliki cita rasa dan sensasi yang berbeda-beda. Kulit ayam itu gurihnya minta ampun. Kalau mata ayam sensasinya ketika digigit muncrat airnya yang begitu lazis. Sedangkan otak, rasanya enak-empuk serta lembut di lidah. Setelah tak aduk beberapa kali saya dapati sepotong kepala ayam yang berukuran besar. Ternyata yang di opor itu ayam kampung. Pantesan mantap dan besar. Dengan lahap saya sikat sepiring nasi hangat berikut kepala ayam yang super lezat.
Kegiatan makan saya terhenti ketika saya hendak nyucrup menikmati otak ayam. Baru ngeh saya, bahwa struktur tempurung kepala ayam kampung dengan ayam potong biasa itu memiliki karakteristik berbeda. Tempurung kepala ayam kampung begitu keras dan kuat. Berkali-kali gigi geraham kanan coba mengeratnya tapi tetap saja tak retak apalagi pecah. Benar-benar keras. Barulah gigitan dan keratan yang kelima, tempurung ayam kampung itu sedikit demi sedikit mengelupas. Dan betapa terkejutnya saya ketika mengetahui otak didalam tempurung kepala ayam kampung tersebut. Otaknya sangat kecil, kecil sekali. Tidak sebanding dengan besarnya ukuran kepala. Ndak cucuk dengan susah-payahnya mengerat tempurung kepala. Ini kebohongan luar biasa. Saya merasa tertipu. Ndase wae gedi, tapi uteke seteki.
Selain karakteristik tempurung kepala, ukuran dan kualitas otak ayam kampung dengan ayam potong juga berbeda. Otak ayam kampung berukuran kecil, tetapi padat berisi. Sedangkan otak ayam potong cenderung lebih besar, tapi lembek-mblenyek. Kenapa ya, kok bisa beda?
Selesai makan saya jadi mikir dan coba menganalisa memakai rumus sederhana (ilmu katon). Ayam kampung itu menganut gaya hidup bebas / liberal. Ia bebas untuk ngapain saja. Maksudnya ayam kampung dibebaskan oleh sang pemiliknya untuk ‘bekerja’ mencari makan sendiri. Tidak dicadong atau dijatah. Ayam kampung dipersilakan sobo sejak subuh sampai menjelang surup (maghrib). Dengan demikian ayam kampung wajib tangguh dalam menghadapi situasi dan kondisi apapun. Sebab akan terjadi banyak persaingan antara ayam-ayam kampung diluar sana. Kalau ndak tangguh alias penakut, maka ayam lain siap nantang duel ketika melihat ayam penakut sedang nenteng makanan. Itu sudah hukum alam. Yang wani akan menang, yang jirih akan tumbang.
Selain tangguh ayam kampung juga dituntut ‘kreatif’, cerdik dan mandiri dalam mencari makan. Mungkin dengan cara ber-ekspansi keluar dari zona nyaman. Menjelajah hingga ke pematang sawah, lapangan, selepan (tempat giling padi), kampung sebelah, pinggiran kali dan entah sampai mana lagi. Ketemunya cacing ya ditelan, nemu sisa-sisa nasi ya dimakan, lihat rayap ya disikat, dapet kroto ya ditotol. Intinya pantang pulang sebelum kenyang.
Di sisi lain adat dan cara hidup ayam potong sangat jauh berbeda dengan ayam kampung. Kalau ayam potong itu diurus penuh oleh sang majikan. Makan dan minumnya dijatah, dijadwal teratur sesuai jam-nya. Sebab ayam potong tujuan-nya memang untuk dipotong, diperjual belikan kemudian dikonsumsi sebagai kebutuhan lauk sehari-hari. Maka ayam potong mesti gemuk, besar dan berisi. Dengan harapan ayam-ayam tersebut nanti ketika dipasarkan bernilai jual tinggi. Jadi ayam potong itu cuma tunggu brok. Diam di kandang. Tidak kemana-mana. Ayam-ayam potong itu tidak perlu mikir apalagi bekerja untuk mencari makan. Dengan kata lain, otaknya mereka (baca.ayam potong) nyaris tidak digunakan alias nganggur-ngetekur. Inilah yang menjadi pembeda antara ayam kampung dengan ayam potong biasa.
Menu opor ayam kampung Idul Fitri tahun ini mengajarkan hikmah baru lagi. Dimana tulang / kerangka pada tubuh akan menjadi kuat dan tahan banting apabila tubuh ini di ajak aktif bergerak. Digunakan untuk bekerja, bekerja dan bekerja. Itu yang pertama.
Kemudian yang kedua adalah otak akan cenderung kecil, padat berisi apabila otak sering digunakan untuk mikir, menganalisa, berkreatifitas, berdaya imaji dan berkarya cipta. Hal itu tampak dan terbukti pada otak ayam kampung. Otaknya kecil tapi padat berisi. Kecil tidak masalah, asal kreatif dan bekerja mandiri untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri.
Saya jadi teringat sebuah kisah yang kerap disampaikan oleh Mbah Nun. Tentang seekor semut yang hendak membantu memadamkan api yang membakar tubuh Ibrahim. Sang semut rela bersusah-payah menyunggi tetes demi tetes air dari sumur untuk kemudian dicipratkan ke kobaran api. Mana mungkin air setetes bisa memadamkan api yang begitu besar. Sang semut pun tidak yakin jika air yang coba ia cipratkan itu bisa membantu memadamkan api. Tetapi bukan itu tujuan utamanya. Semut hanya berharap semoga Allah Ta’ala berkenan untuk mencatat ikhtiar kecilnya untuk membantu sang kekasih Ibrahim itu sebagai amal kebaikan. Itu saja. Kecil tidak apa-apa yang penting sudah ikut berkontribusi serta.
Sebaliknya, tulang akan mudah rapuh kalau tidak digunakan untuk obah-bergerak dan bekerja. Akibatnya otak jadi empuk, lembek dan mblenyek. Persis kayak otak ayam potong.
Tuhan,
Doa di hari yang fitri ini, mudah-mudahan saya dan anda semua dapat belajar dan meniru cara hidup ala ayam kampung. Yang berani, tangguh, kreatif dan mandiri. Bertulang kuat, berotak kecil tapi padat berisi. Dan semoga kita tak bernasib sama seperti ayam potong. Dimanja, dicekoki makanan, dipenuhi segala kebutuhan tapi ujung-ujungnya dipotong, disembelih dan dicincang. Ngenes kawan.
Sragen, 5 Syawal 1438 H
Oleh: Muhammadona Setiawan