Di era modern dengan berbagai kompleksitas peristiwa di dalamnya, di berbagai pengamatan saya menemukan fakta yang sangat ironi, bahwa ternyata Seseorang dengan Pendidikan yang tinggi, gelar yang seabrek, kekayaan yang menumpuk, dan berbagai macam predikat materialisme lainnya. tak menjamin seseorang berattitude setinggi pencapaian kasat matanya.
Bisa saja seorang mahasiswa sangat memandang rendah tukang becak, tukang kelontong, bakul sambel tumpang langganan saya hanya karena mereka merasa belajar, bertitel, mengeluarkan uang banyak untuk kuliah, seolah-olah semua orang yang tidak bertitel hanyalah remah-remah, atau sampah yang mereka ludahi.
Atau saya yang cuman lulusan SMA tidak akan pernah dianggap sebagai seorang yang punya cara pandang berfikir, hanya karena saya tidak mempunyai “eblek” resmi dari universitas ternama, saking butanya Manusia modern menunggu orang harus lulus S2 atau S3 dulu baru didengarkan pendapatnya, sebagai pendapat yang sahih.
Padahal semua orang berkesempatan yang sama untuk berfikir, menganalisis, mengamati, dan mengelaborasi segala sesuatu. Bedanya saya tidak ada tuntutan dari manapun, Soal belajar mengurai Khazanah di samudera ilmu bukan karena saya pingin title murni karena saya haus ilmu, tapi mereka yang kuliah di universitas secara otomatis akan mendapatkan gelar/title sebagai bukti mereka punya legitimasi atas bidang tertentu, meski mereka kadang tidak terlalu haus akan ilmu.
Belum lagi soal mentalitas tukang perintah yang ditanam dalam chip sanubari mereka, semenjak mereka sekolah hanya dididik untuk menerima tugas, mengerjakan tugas, menerima soal dsb, hingga ketika mereka sudah purna diperintah, himpitan tumpukan emosi, kepenatan dan kurangnya kebebasan menggiring mereka untuk seenak mereka memerintah orang-orang yang menurut mereka tidak layak dihargai, dihormati dsb.
Kalo sudah sekolah tinggi punya gelar, sikap Jumawa itu seakan menjadi bagian erat dari mereka, ada jarak yang terbentang antara mereka yang sekolah dengan mereka yang tidak berkesempatan sekolah. Tidak ada lagi keinginan untuk mempelajari ilmu dari mereka ‘yang tidak sekolah’ ini, Sarjana-sarjana ini menutup diri dari adanya kemungkinan ilmu dari orang-orang yang tidak layak menurut standar mereka.
Dalam hal ini bolehkah saya berpendapat kalau institusi pendidikan ternyata gagal mendidik anak-anak supaya mampu mengasah diri mereka sebagai pencari ilmu, berkarakter lebih baik, mengerti adab, unggah-ungguh, tahu dengan siapa dia berbicara, belajar memilah-milah kata, belajar empan-papan.
Atau apakah ini salah si anak? anak-anak yang dari kecil mungkin sangat polos hingga mereka menelan mentah apapun yang disampaikan guru, dari sejak kecil sampai menuju dewasa.
Atau fenomena apa ini? ada banyak kekalutan dan kekosongan anak-anak itu, semakin tua mereka tidak menjadi semakin dewasa dalam bersikap dan berpikir, justru malah seperti anak kecil yang dibuai oleh tombol refresh sosmed, atau kebuntuan kita yang mengantarkan kebahagiaan kita hanya pada memutar sebuah fidget spinnner, bahkan menginstal aplikasi fidget spinner di smartphone, yang ternyata tidak membuat kita menjadi smartuser bahkan bertolak belakang.
Belajar Ngajeni adalah hal yang ingin saya utarakan disini, dimana anak-anak sekarang hampir kehilangan sama sekali sikap ngajeni, ngajeni berasal dari kata Aji, Ngajeni itu hakikatnya adalah menghargai orang lain, menghormati Aji-nya orang lain.
Dan Aji ini tidak harus selalu punya titel, tidak selalu harus punya kekuasaan, kekayaan, maupun jabatan, tapi Aji ini bisa punya kewaskitaan, punya ilmu, kebijaksanaan, atau talenta-talenta yang diberikan Tuhan sejak manusia lahir, atau talenta yang dititipkan Tuhan dalam proses hidup seseorang, Malasnya kita mengasah kepekaan ini yang kemudian mengantarkan kita pada sebuah kenyataan bahwa hanya orang-orang tertentu yang mampu membuka “tabir-tabir Tuhan” ini.
Disini harusnya sikap setiap orang kepada orang lain adalah membuka dirinya, kalau bisa menemukan apa yang menjadi Aji dari seseorang. Dan pasti semua orang punya Aji-nya sendiri-sendiri, tiap orang tentu akan berbeda, dan pengenalan akan Aji seseorang-pun kadang kita harus menggali terus software kita.
Jika dalam bercakap dengan seseorang kita bahkan tidak menemukan sari-pati apapun dari orang tersebut, jangan terburu-buru menjudge bahwa orang tersebut tidak ada gunanya, dan halal untuk di ejek, dihina, disepelekan, siapa tahu ternyata software , ilmu kita yang belum compatible untuk membuka ilmu yang ada padanya.
Demikian hendaknya semua orang harus berhati-hati dalam menilai seseorang, melihat seseorang bukan hanya dari luarnya, tapi juga menemukan isinya. sikap seperti ini yang harusnya diajarkan pada anak didik.
Atau kita, saya, sebagai sesama orang yang belajar dan terus belajar dibelantara ilmu, harus menuai kebuntuan, kekosongan, yang berujung pada luapan-luapan emosi yang sebenarnya tidak perlu.
Sukowati, 23 Agustus 2017
Oleh : Indra Agusta