Cengkraman arus globalisasi semakin menggiring manusia nusantara pada kerancuan identitasnya sebagai manusia timur yang hidup dengan budaya,paugeran,unggah-ungguh ketimuran. Kita terjebak pada pola-pola yang kita sendiri tidak tahu bahwa kita turut dicengkram dalam genggamnya.
Seperti malam ini malam tahun baru Jawa, 1Suro, malam yang begitu sakral bagi manusia jawa, kini ketenangannya seperti terusik oleh sekelompok anak muda ingin megeksiskan dirinya dengan datang ke tempat-tempat dimana perhelatan suronan berlangsung, cahaya flash dan kesibukannya memamerkan di sosmed sedikit mengganggu pandangan saya akan kemegahan sebuah perayaaan.
Di berbagai sudut kadipaten dengan berbagai cara, kalangan lanjut usia merayakan suronan dengan berbagai hal, ada yang kungkum, mesudiri, berjalan mengitari rumah, desa, kota bahkan ada tradisi tepuk gelang, semacam tawaf mengitari gunung Lawu dengan jalan kaki.
Ironisnya, banyak dari muda kita sudah melupakan tradisi tersebut, dibanding menelisik kesunyian pola jaman mengantarkan mereka untuk lebih suka pada gegap gempita, wah, kembang api, dan semua perayaan yang kasat mata. Hingga tradisi kebudayaan yang sangat sakral hanya berakhir demi ajang berburu like aplikasi jejaring sosial.
Kepraktisan demi kepraktisan ini yang menggiring pada kedangkalan cara berpikir, minim obrolan, hidupnya terus berkutat pada tombol refresh di handphone mereka, dan kesunyian itu terasa semakin jelas ketika kuota internet mereka juga sunyi. Buku tak jadi penenang, obrolanpun mereka tak punya bahan, dan eksistensi mereka tidak melahirkan karya apapun samgat semu. Keadaan ini memuncak, melahirkan sebuah kesepian gagasan.
Dimana akan sangat sulit mereka berpendapat atas suatu hal, menimbang-nimbang baik buruk permasalahan dalam kacamata yang luas, dan ini jadi trend disemua kalangan anak muda diberbagai tingkat lapisan sosial.
Namun, ada benarnya guru saya berkata ada arus yang menuju masa depan, ada arus yang menuju masa silam , disudut lain Ada sekumpulan anak muda yang mau duduk mendengarkan orang-orang tua kita berbicara tentang tradisi masa silam, yang mau semalam suntuk pun bisa berkelakar tentang banyak hal, pertanda apa ini?
Jaman yang sunyi ini, justru melahirkan generasi yang punya banyak gagasan dan harapan tentang masa depan, pertanda apakah ini? Gegap gempita berujung pada kesemuan,kebuntuan, kedangkalan, sementara kesepian, kesunyian melahirkan pemikiran, titik awal ilmu, dibukakan cakrawala baru, tahun apa ini, tahun yang begitu paradoks.
Seperti gelapnya jalanan ketika laku tepuk gelang berlangsung, semalam suntuk berjalan mengelilingi Gunung Lawu dan diakhiri dengan semburatnya matahari pagi di ufuk timur.
Ah, semoga jaman semakin benderang, meski kegelapan harus disibakkan terlebih dahulu.
Selamat 1 Suro, mugi rahayu ingkang sami pinanggih…
Nuwun.
Sukowati, 21 September 2017.
Oleh : Indra Agusta