Saya ini orang bodoh. Hanya tahu sesuatu yang dapat saya lihat, saya dengar dan saya rasakan. Saya bukan orang pandai, sebab saya hanya sanggup memahami apa-apa yang sudah saya alami sendiri. Saya hanya bisa belajar dari peristiwa atau kejadian yang terjadi disekitar dan seputar kehidupan saya. Saya awam dunia luar. Sama sekali tidak punya kemampuan untuk mencerna, mengolah apalagi menilai segala hal yang berlangsung diluar sana. Saya juga tidak ada kepatutan sedikit pun untuk sok tahu, sok bisa, sok bijak mengemukakan pendapat, kritik-saran, gagasan, terlebih lagi ide segar nan cemerlang. Saya benar-benar nul prutul. Diluar sana orang hangat membicarakan apakah bumi itu bulat atau datar, saya cuma mlongo ndak bisa komentar. Khalayak tengah asyik mengkritisi maju-mundurnya persepakbolaan nasional akhir-akhir ini, saya hanya bisa gigit jari. Para netizen berdebat hebat perihal pro-kontra film pemberontakan G-30SPKI, lagi-lagi saya hanya terbungkam dan garuk-garuk kepala sendiri. Sebodoh itukah saya. Yang tidak update berita, gosip atau isue yang sedang berkembang (booming). Seacuh itukah sikap saya. Yang seolah cuek, tak mau tahu atas peristiwa demi peristiwa yang terjadi di masyarakat dan negeri ini. Jujur dan maafkan, sudah dua tahun terakhir ini saya memang pasif melihat siaran tv dan enggan membaca headline koran. Saya coba ngerem, menahan diri untuk tidak ikut-ikutan komen atas berbagai pemberitaan yang sedang viral di jejaring media sosial. Saya tutup rapat-rapat akses saya untuk bersuara, copas tulisan, menyanggah, menggugat atau coba meluruskan. Saya memilih diam. Sebab saya memang tidak benar-benar tahu dan paham apa yang sebenarnya terjadi. Saya tidak berani membicarakan sesuatu yang tidak saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri. Kalau saya ngomong atau menulis sesuatu tapi tidak sesuai dengan riil-nya maka saya sudah dianggap melakukan atau menyebar berita bohong (hoax). Kalau ucapan juga tulisan saya sengaja maupun tidak sengaja menyinggung perasaan orang terlebih lagi mengganggu-merugikan maka besar kemungkinan saya dituduh melakukan perbuatan tidak menyenangkan (saracen). Oleh karena itu sikap yang paling bijak dan aman bagi saya adalah diam.
Berkat pertimbangan diatas, maka dengan segala kerendahan hati saya hanya mau dan akan menuliskan sesuatu, pengalaman atau peristiwa yang pernah saya alami sendiri. Sejauh yang bisa saya lihat, dengar, rasakan. Saya tidak akan menulis yang tidak saya ketahui. Dan saya juga tidak akan menulis sesuatu yang berada diluar garis pandang dan jangkauan saya.
Yang hendak saya sampaikan pada tulisan kali ini masih seputar kemesraan kehidupan rumah-tangga baru saya. Maklum, saya dan istri masih dibilang manten anyar. Masih berdebar-debar. (Haha)
Telah sempurna hidup saya ketika Tuhan mengkurniakan jodoh istri sholihah untuk mendampingi hari-hari saya. Istri saya bernama Barokah Nur Fitriani. Dan saya benar-benar merasa berjodoh dengan yang namanya barokah. (Barakallah)
Bagaimana tidak, sebelum saya kenal dengan sang istri yang bernama depan Barokah. Terlebih dulu saya sudah kenal dan bersinggungan dengan Barokah yang lain. Yaitu Gang Barokah, no. 287, Kadipiro, Yogyakarta. Disitulah alamat Rumah Maiyah. Rumah yang telah banyak memberi ilmu, wawasan, nasihat, pelajaran hidup, cinta dan kasih sayang kepada saya. Saya sangat berterima kasih kepada Allah Swt, yang telah menggeret saya masuk ke dalam kebun Maiyah. Dikebun Maiyah saya diajari oleh Simbah (Mbah Nun) untuk belajar “macul”, mengenali dan mengolah diri sendiri. Kalau kau telah mengenal dirimu sendiri, maka kau akan mengenal Tuhanmu. (Man arofa nafsahu faqod arofa Robbahu). Artinya jika kita sudah mengenal diri sendiri dan Tuhan, maka kita akan mampu menempatkan diri dengan benar. Dihadapan Tuhan kita memposisikan diri sebagai hamba. Sedangkan didepan manusia kita berlaku sebagai sesama/ saudara. Hamba akan menyembah Tuhan-nya. Dan manusia akan memanusiakan manusia/ sesama.
Alhamdulillah, gang Barokah telah menjadi alamat bagi saya untuk belajar nandur. Nandur kebaikan, nandur kesholehan, nandur kemaslahatan. Dan kini Allah memberi Barokah lagi yang menjadi alamat bagi saya untuk ‘nandur’ benih-benih cinta. Semenjak mengenal Maiyah, kebarokahan tak pernah berhenti menghujani hidup ini. Dan masih saja setia menghampiri hingga kini.
Menikah itu membuka kran rizki semakin lebar. Ungkapan pepatah tersebut benar. Benar-benar saya rasakan. Usai menikah saya mendapatkan kabar gembira dari Sekolah. Bahwa mulai tahun ajaran baru 2017-2018 pendapatan gaji saya naik. Meningkat cukup signifikan. Sebab mulai tahun ajaran ini jam mengajar saya bertambah. Dari 12 jam pertemuan menjadi 25 jam setiap minggu-nya. Hukum sebab-akibat pun berlaku. Semakin banyak jam mengajar, maka semakin banyak pula pundi rupiah yang didapatkan. Berairmata saya mensyukurinya. Karena kini memiliki tanggung jawab yang lebih untuk menafkahi istri, Allah pun seketika langsung memperlancar aliran rizki. Namun jangan naif, bahwa rejeki bukan sekedar duit. Kesehatan, kemudahan, kesempatan dan kecukupan yang sudah di dapatkan selama ini jangan sampai alpa kita syukuri.
Seminggu lalu keberuntungan kembali menghinggapi kami. Pukul 11 siang saya mengantar istri untuk mengikuti ujian susulan Matematika dikampus UT Palur. Cuaca panas yang menyengat tidak mengendorkan semangat kami untuk berangkat. Jujur, saya dan istri memang sama-sama jeblok
dibidang Matematika. Babakan ngetung angka selalu bikin pecah kepala. Dan ini merupakan kesempatan terakhir bagi istri saya untuk melaksanakan ujian susulan.
Sampai di kampus UT pukul 12.15 WIB. Tak sempat istirahat, istri saya langsung masuk ke dalam dan saya menunggu diparkiran. Dengan iringan Bismillah saya doakan dia semoga bisa mengerjakan soal sebaik-baiknya. Ya, minimal jangan ngulang lagi. Mosok ujian susulan sampai 2 kali. Kan ngisin-ngisini. (Hihi)
Selang satu jam istri saya keluar dengan muka datar. Ada yang ngganjel dipelupuk matanya. Dengan pelan terbata ia mulai mengeluarkan kata-kata.
“Tadi ada 30 soal pilihan ganda, dan ada 20 jawaban saya yang salah.”
“Terus, lulus ndak?”
“Paling dapet nilai D. (diam sejenak) Tapi lulus. Yeee…Desember wisuda (ia teriak dengan girangnya)
Ternyata menikah juga bisa membuat orang cepat lulus kuliah. Alhamdulillah.
“Kowe saiki lemu-men bro?”
“Halaah biasa wae…”
“Cocok mesti susu-ne…”
Ungkapan diatas biasanya kerap ditujukan kepada para pengantin baru. Guyonan lama tapi masih akrab ditelinga dan tak jarang mengundang gelak tawa. Akhir-akhir ini saya pun jadi korban-nya. Setiap bersua dengan teman, saudara atau rekan kerja dimana pun saja selalu gojekannya mengarah kesana.
“Waaah… wis nikah, auranya beda. Katon lemu saiki kowe, cocok yo susune.” –
Mendapat ledekan seperti itu, saya hanya senyum tersipu malu.
Tak dipungkiri memang kalau tubuh saya sekarang agak gemukan. Padahal perawakan keluarga besar saya kurus semua. Sampai saat ini, porsi dan pola makan saya juga tidak ada yang berubah. Tetap sama, tetap seperti biasanya. Mungkin yang membedakan sekarang adalah pikiran-nya sudah semeleh-tenang, ndak galau, ndak kemrungsung, hati rasanya damai-tenteram, sehingga secara tidak langsung hal itu yang mungkin mempengaruhi struktur proporsi badan. Dulu sebelum nikah berat badan saya hanya 53 kg. Sekarang naik ke angka 60 kg. Dan perubahan paling mencolok ada pada bagian perut. Kalau dulu perut saya kempes ke dalam, sekarang terbalik maju ke depan. Alias buncit-gendut, sedikit mirip badut. Saya sendiri sampai terheran-heran. Menikah ternyata mampu mengubah berat badan.
Benar sekali bahwa menikah itu membawa keberkahan. Keberkahan yang melimpah dan bertambah-tambah. Tambah rejekine, tambah ayem pikiré, tambah tentrem atiné, tambah lemu awaké lan tambah-tambah liyané.
Terakhir, maaf bagi yang belum menikah, satu pesan saya. Jangan percaya dengan semuuua yang saya ceritakan. Sebelum anda sendiri membuktikan!
Wassalam
Gemolong, 20 Oktober 2017
Muhammadona Setiawan