Hujan rintik menyelimuti perjalanan pulang selepas Mocopat Syafaat, perjalanan yang menjadi tambah terasa sembilu ketika robot-ijo saya kecopetan di stasiun Lempuyangan. Senjata andalan saya yang mengkoneksikan saya dengan dunia lain, juga sebagai tempat menuliskan segala tetesan ilmu Tuhan yang dititipkan lewat olah rasa saya.
Kalau teman-teman yang sering nyakruk sama saya, yang ngobrol intens akan tahu bahwa saya selalu niteni ada SKS apalagi ini yang dititipkan Gusti? Biasanya saya kasih nama babagan ada yang 3-6 bulan selalu bergelut dengan masalah anak-anak remaja, masalah ruwetnya jalinan hubungan pernikahan seseorang, hingga soal mie ayam yang beraneka macam bumbu di tiap warungnya. Semuanya saya titeni.
Pertapaan Subtansial
Beberapa bulan ini saya teringat pernah ngobrol khusus soal paradox, juga soal Nabi Ayub, dan akhirnya tibalah saatnya saya ditest untuk nglakoni apa yang saya diskusikan, soal Ayub jelas, jalan hidup semakin menarik ketika saya kehilangan pekerjaan, mendapat pekerjaan yang menarik buat banyak orang akhirnya harus mengalah pulang karena ada tanggungan simbah dirumah, sementara tidak ada yang menjaga, menjadi pengangguran, menghabiskan tiap hari dirumah, ditambah dengan hilangnya robot-ijo semakin dituntaskanlah jalan kesunyian saya.
Lalu saya teringat omongan Markesot dalam suatu tuturan “Menyepi itu penting supaya kamu benar-benar tahu apa yang menjadi isi dari keramaian”
Seperti pertapaan tersendiri ketika sangat minim bertemu dengan manusia, bertatap muka dan ngobrol jujur menjadi manusia. Menjadi manusia tanpa akses sekilas memang terlihat kesepian, namun terasa lebih peka dalam menangkap segala sesuatu, juga tidak diributkan dengan ramainya dunia nyata maupun dunia maya, dan semakin jelas memetakan sesuatu dari inti terdalam berbagai permasalahan keluarga, sampai malasnya saya mendengar tetangga bercerita soal tiang listrik, lalu boomingnya soal petinggi partai pemenang yang mau mampir ke bumi Sukowati. Dan tentu soal berlatih keikhlasan bahwa robot-ijo saya akan menjadi nasi dan lauk pauk untuk kelangsungan hidup si pencopet dan keluarganya.
Ora Cukup Dadi Manungsa
Perjalanan kereta dengan penuh rasa gelisah karena habis kecopetan berlanjut dengan pengamatan banyaknya manusia yang sibuk dengan dunia maya, tanpa peduli apa yang ada disekelilingnya. Begitu acuh dan terkesan individualistic, teknologi akhirnya mendekatkan yang jauh namun juga menjauhkan yang dekat.
Budaya selanjutnya yang saya temukan diberbagai perjalanan, ternyata ora cukup dadi menungsa! Sengaja saya tekankan dengan tanda seru karena memang hampir semua yang saya temui selalu basa basinya diseputar ketidak cukupan seseorang dengan mengetahui bahwa kita sesama manusia.
Kerja dimana?
Kok nganggur?
Lulusan apa? Kok tidak kuliah?Loh belum nikah?
Lulusan SMA mau jadi apa?
Anak saya itu sekarang ketrima disana sini.
Pro Jokowi atau Prabowo?
Ini perjalanan ketemu om nya dek di Jakarta, ajudannya mentri.
Seperti tidak ada puasnya, manusia berbusa-busa soal pencapaian, juga berbagai embel-embel lainnya, kenapa tidak berbicara saja sebagai manusia, manusia yang cukup menjadi manusia, yang berbicara soal cinta kasih, kemanusiaan, kebudayaan, yang tanpa perlu buas dan haus untuk meninggikan diri dan merendahkan lainnya cuman karena ingin dihormati.
Jangankan untuk menjadi Muhammad dengan Piagam Madinahnya, menjadi Isa yang penuh dengan cintanya kesemua manusia, atau menjadi Buddha yang semutpun dibiarkan untuk tidak dibunuhnya, Kita menjadi manusia saja masih belum lulus, terkadang masih Seperti Kuda yang memekik-mekik memamerkan kegagahannya, atau seperti Macan yang harus memakan mahkluk lain untuk kelangsungan hidupnya.
Perjalanan sampai dirumah, Simbah ( yang saya belain resign dari pekerjaan di Jakarta dan berani nganggur dirumah) nyeletuk, kowe ning omah nganggur arep dadi apa?
Masuk kamar saya, melanjutkan bertapa kembali, sambil berkata dalam hati ternyata Ora cukup dadi menungsa, ora cukup duwe ilmu, ora cukup duwe khazanah kebudayaan, ora cukup duwe berbagai macam kebijaksanaan.kabeh kudu katon.
Dan arus materialisme masuk mengetuk pintu rumah saya, dikamar menikmati simulasi menjadi Nabi Ayub dan termasuk screening total siapa saja yang masih memperhatikan saya ketika saya bahkan tidak menjadi apapun dari bagian hidup yang berlangsung progresif.
Kleco Wetan, 20 November 2017
Indra Agusta