Menu Close

Tentara-Tentara Langit

Musim penghujan Negeri Nusantara diawali dua badai siklon yaitu Cempaka dan Dahlia. Lalu Terjadilah rentetan bencana di sepanjang selatan Jawa. Ada ribuan manusia yang berteriak minta tolong, sisanya sakit bahkan terpaksa mengikuti garis Sang Khalik untuk menyudahi karir hidupnya.

Seluruh kota mendadak gempar, disusul gegap gempita media yang meliput dari berbagai sudut pandang, Dari berbagai kepentingan. Seperti semboyan Bad News is Good News, dan benar Berita tentang bencana memang mampu mencuri media dalam beberapa hari. Shoot-shoot kamera yang menimbulkan iba, seturut dengan menyembulnya wabah wisata Bencana.

Kenapa Wisata Bencana?

Ternyata bukan hanya media baik cetak maupun elektronik yang terpikat dengan bencana, Ada ratusan manusia yang berjibun datang ke lokasi bencana (tentu bukan dari daerah yang terdampak) seperti berlomba-lomba untuk paling cepat mengabarkan di jejaring sosial, Berlomba foto eksis menampilkan wajah manyun yang cuman ingin pamer mereka melihat banjir/tanah longsor,seperti sebuah layaknya ditempat wisata. Saya sendiri kurang tahu maksudnya bagaimana, tapi ini sudah seperti budaya masyarkat kita. Belum lagi Fenomena Pewarta sosmed, Mereka beramai-ramai menyebarkan info di medsos, broadcast di grup-grup WA, tanpa sedikitpun melakukan kroscek, pada pihak-pihak terkait Yang penting eksis, yang penting cepat, dan banyak info ‘sing jebul Hoax’.

Semakin maju perkembangan teknologi yang hadir di masyarakat tanpa dibarengi oleh attitude pengguna akhirnya hanya melahirkan berita bohong, yang dalam kasus kemarin sempat heboh karena ada info pintu air waduk Wonogiri yang dibuka, dan berpotensi banjir se-Soloraya. Kejadian ini sungguh memprihatinkan, di satu sisi  ternyata tidak banyak pemilik smartphone yang menjadi Smart-user. Disisi yang lain Ini seperti simulasi bahwa: Masyarakat kita sangat rentan dan mudah terpengaruh isu yang dilontarkan media sosial, ini bahaya jika kita teruskan ke 2 tahun ke depan ada Pilkada dan Pilpres.

Selanjutnya yang mudah diamati ketika hadir bencana tentu adalah Bantuan Kemanusiaan, entah dari internal wilayah maupun luar wilayah. Ada yang sekedar menjalankan tugas kepemerintahan, komando dari pimpinan, ada pula yang sudah membawa politik ke dalam bencama, berbalut bantuan ada terlihat calon-calon yang akan bertarung mulai pasang muka atau bendera tertentu yang mengarah pada 2018-2019.

Simpati tertinggi akhirnya saya berikan kepada kawan-kawan saya yang menjadi relawan kemanusiaan seutuhnya, mereka yang tidak digaji, tidak membawa kepentingan apapun, tidak mengharap simpati Media atau siapapun. Namun rela meninggalkan pekerjaan, keluarganya di rumah sejenak, bertaruh nyawa untuk membantu mereka yang membutuhkan, kebanyakan mereka justru orang-orang biasa, yang juga masih bertarung dengan nasib untuk menyelamatkan hidupnya dan keluarganya. Namun keikhlasan mereka membawa merupakan senyum tersendiri bagi mereka yang ditimpa musibah. Semangat juang tanpa pamrih mereka adalah lilin yang mnjadi secercah harapan bagi mereka yang kehilangan keluarga mereka.

Mereka ini bagi saya bukan lagi manusia, tapi malaikat-malaikat Tuhan yang berwajah jalma, mereka inilah yang dalam sebuah pembicaraan bersama sesepuh digelari “Tentara Langit” karena mereka tidak mengabdi kepada Dunia. Dunia hanyalah lantaran pengabdiannya kepada sesama juga tentu kepada Sang Pencipta.

Semoga selalu diberikan keberkahan di kehidupan mereka masing. Karena tidak banyak manusia seperti mereka, di tengah iklim Indonesia yang sangat buas memburu keuntungan sepihak, menjadi budak materialisme dan globalisasi, ada anomali yang terjadi, mereka ini tentara-tentara langit ini punya jalan sendiri untuk memaknai hidup dan kehidupannya, jalan-jalan sunyi untuk mengurai derita sesama.

Avignam Jagad Samagram,

Semoga selamatlah alam semesta dan seluruh isinya.

Dituliskan sebagai dukungan spiritual, semua saudaraku pejuang kemanusiaan.

Bengawan Solo, 28 November 2017

Indra Agusta

Tulisan terkait