Setiap tahun baru datang, ucapan Selamat Tahun Baru bertebaran dimana-mana. Menghiasi linimasa hingga menjadi trending topic dunia. Setiap orang, kelompok, instansi, organisasi, komunitas, perusahaan dan siapa saja berlomba-lomba memberikan ucapan selamat berikut foto kembang api, terompet, meme, kata mutiara dan berbagai pernik lain khas tahun baru.
Selain ucapan Happy New Years yang membanjiri wajah sosial media, terdapat satu topik yang selalu dikaitkan dengan datangnya Tahun Baru. Yap, Resolusi. Sebagian dari kita mulai mencanangkan resolusi besar-besaran di tahun baru 2018. Resolusi ialah sebuah pernyataan tertulis/ tidak tertulis yang berisikan tuntutan maupun rancangan ke depan yang hendak direalisasikan. Resolusi dibuat dengan tujuan sebagai reminder, pengingat bahwa pencapaian hari esok harus lebih baik dari hari kemarin. Itu kuncinya.
Di tengah sorak sorai manusia yang merayakan momen tahun baru di luar sana. Saya dan istri memilih menepi. Menghindar dari hingar-bingar. Menjauh dari pawai keramaian. Sebab kami merasa bukan lagi kids zaman now. Sehingga tak lagi pantas untuk ikut-ikutan larut dalam gegap gempita perayaan tahun baru. Cukup bersendau gurau di rumah sembari ngopi. Dan sesekali mengamati geliat pesta tahun baru melalui sosial media. Sampai saya terhenyak ketika membaca tweet salah satu tokoh negeri ini.
“Selamat tahun baru utk kita semua. Kalau thn 2018 amal kita lbh jelek daripada thn 2017 terkutuklah kita. Kalau amal kita di thn 2018 hanya sama dgn thn 2017 merugilah kita. Kalau amal kita thn 2018 lbh baik daripada thn 2017 beruntunglah kita. Hiasilah thn 2018 dgn amal2 yg baik.” – (@mohmahfudmd)
Dari tweet diatas terdapat tiga kategori kondisi atau keadaan seseorang yang disampaikan oleh Prof. Moh. Mahfud MD. Terkutuk. Merugi. Dan beruntung. Terkutuk apabila tahun 2018 amal kita lebih jelek daripada tahun 2017. Merugi kalau amal kita di tahun 2018 hanya sama dengan tahun 2017. Dan beruntung jika amal kita tahun 2018 lebih baik daripada tahun 2017.
Petuah sederhana namun sarat makna. Kita tidak perlu repot-repot membuat atau merumuskan sebuah resolusi besar-besaran untuk menatap tahun depan. Cukup dengan satu langkah. Yakni beramal baik. Meliputi berfikir baik, berkata baik dan bersikap baik. Kepada siapa saja dan dimana saja. Itulah resolusi terbaik ala Profesor Mahfud MD yang patut kita renungkan.
***
Mengawali tahun baru 2018, baiknya memang diisi dengan melakukan kegiatan yang positif. Hal baik yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Pagi itu (1 Januari 2018), usai mandi dan gosok gigi, saya iseng mendengarkan radio. Salah satu radio lokal yang ada di kota Solo. Satu-dua lagu diputar. Setelah itu terdengar sang penyiar mulai menunjukkan kelihaian-nya dalam berseni suara. Menyampaikan sederet informasi tanpa jeda. No spasi. Nyerocos tiada henti. Sampai tak sengaja saya mendengar info bahwa ada seorang bayi yang baru lahir dan sedang membutuhkan transfusi darah segera. Bayi tersebut terlahir prematur. Dan darah yang dibutuhkan adalah tipe AB. Persis punya saya.
Tanpa pikir panjang, saya langsung mengajak sang istri meluncur ke Solo. Singkat cerita, kami sudah ada di perjalanan. Sial. Saking gugupnya, kami tidak sempat mengingat apalagi mencatat alamat maupun contact person sang bayi yang membutuhkan donor darah tersebut. Atau di Rumah Sakit mana ia tengah dirawat. Dia tas motor kami terus berdiskusi kecil.
“Lalu tujuan kita ini kemana sayang?”
“Hmm….kemana ya…, ke PMI saja.”
“Ide brilian.”
Motor kami pacu sekencang mungkin menuju gedung PMI Solo/ Surakarta. Selang 20 menit kami tiba. Memasuki ruang donor saya berbincang dengan petugas jaga. Saya sampaikan niat dan tujuan saya datang ke PMI. Oleh petugas saya dipersilakan untuk mengisi formulir calon pendonor.
Nampak antrian mengular di ruang donor. Kami duduk di pojok kursi ruang tunggu menunggu giliran. Beberapa menit kemudian nomor antrean saya di panggil. Oleh petugas donor, lengan tangan kanan saya dibebat kuat dengan alat tensi untuk dicek berapa detak tensinya. 100/70 MMHS. Angka dibawah normal namun masih memenuhi syarat untuk berdonor darah. Berikutnya petugas lain mengambil sampel darah pada ujung jari tengah kanan saya, guna mendeteksi kadar Hemoglobin (Hb) alias sel darah merah.
Tiba-tiba dua petugas serempak memandang ke arah saya seraya berkata.
“Darahnya AB ya mas?”
“Iya.”
“Oh My God. Ini langka banget mas. Susah nyarinya. Positif lagi. Ini mau disumbangkan ke siapa?”
“Tadi saya mendengar info diradio. Kalau ada seorang bayi yang butuh transfusi darah AB. Tapi sayang saya ndak tahu alamatnya.”
“Oh gituuu.”
“Pokoknya, kalau ada yang butuh darah AB tolong sumbangkan ke orang tersebut.”
“Baik mas.”
Golongan darah AB memang langka. Tidak sembarang orang punya. Golongan darah AB sangat jarang ditemukan, dibandingkan dengan tipe golongan darah yang lain. Menurut sebuah penelitian di Stanford School of Medicine, California, Amerika Serikat, menyatakan bahwa hanya 4 persen penduduk dunia yang beraglutinogen darah AB. Yang namanya penelitian, sangat mungkin berpotensi salah atau benar. Dan kita tidak perlu repot berdebat kusir tentang benar atau tidaknya penelitian tersebut. Begitu sederhananya.
Kembali ke tema. 4% adalah angka yang sangat minor. Dengan kata lain, di wilayah Asia hingga Indonesia mungkin hanya terdapat 0 koma sekian orang yang memiliki tipe darah AB.
Orang golongan darah AB hanya dapat mendonorkan darahnya ke sesama tipe AB. Namun, mereka bisa menerima transfusi darah dari semua tipe golongan darah yang lain. Atau biasa disebut penerima Universal. Ini semakin menegaskan bahwa pemilik darah tipe AB memang unik. Eksklusif dan spesial.
Ketika tangan kiri saya disuntik jarum dan diambil darahnya. Ada salah satu petugas yang dengan setia mendampingi saya. Sepertinya petugas tersebut masih shock dan belum percaya jika saya memiliki tipe darah AB. Menurut dr. Bekti (Kepala Bagian Donor PMI) mengatakan ; jarang PMI kota Solo punya stok darah tipe AB. Biasanya dalam sebulan, PMI Solo memiliki stok darah A sebanyak 100 kantong. B – 120 kantong. O – 200 kantong. Sedangkan AB mungkin hanya 2 sampai 3 kantong. Ini aneh sekaligus memprihatinkan. Dan dr. Bekti pun mewanti-wanti saya agar supaya rajin dan rutin berdonor darah tiga bulan sekali di PMI.
Kelangkaan darah AB memang tidak dapat disalahkan. Sebab jenis golongan darah bukan buatan manusia. Melainkan langsung pemberian Tuhan. Sehingga tekhnologi modern secanggih apapun tidak dapat untuk mem-produce apalagi melipatgandakan darah. Hal ini menegaskan kita bahwa pemberian yang berasal dari Tuhan adalah mukjizat. Karunia mahal luar biasa. Tidak dapat dibeli dan dibayar.
Hari ini kita, khususnya saya pribadi kembali belajar. Belajar tentang kebesaran dan keagungan Tuhan. Mensyukuri atas berbagai nikmat yang telah diberikan-Nya. Umur, hidup, kesehatan, darah, indera, udara, karir, kesempatan, itu semua rizki dari Allah Swt.
Setelah mensyukuri, selanjutnya nikmat itu diberdayakan. Manusia diberi akal untuk meng-kreatifi segala nikmat yang telah didapatkan. Mempergunakan nikmat dengan sebaik-baiknya dan mengolahnya agar bermanfaat baik bagi liyan. Sebab tugas manusia didunia ada dua. Hablum minallah dan hablum minannas. Mencintai Allah dengan cara menyembah (melaksanakan perintah, menghindari larangan) dan menyayangi sesama dengan cara berbagi, peduli, empati, toleransi dll.
Terakhir, meminjam pernyataan bapak Wakil Presiden H. Dr. Jusuf Kalla yang sekaligus menjabat ketua PMI Indonesia :
“Semisal kita benar-benar sedang tidak punya uang, barang, obat-obatan, pakaian, makanan atau apapun saja. Ternyata masih ada, dalam diri kita yang bisa dibagikan untuk sesama. Yakni darah.”
“Selama darah yang anda donorkan terus mengalir dalam tubuh orang lain dan menghidupinya. Maka InsyaAllah pahala dan kebaikan juga akan terus mengalir untuk kehidupan anda.” –
Usai donor, saya pun mendapat bingkisan dan “hadiah”. Dalam hati berbisik : Ahh, berbagi itu memang indah.
Gemolong, 22 Januari 2018
Muhammadona Setiawan