Menu Close

RI-Mongso Bodho-o

Salah satu budaya pendidikan di masyarakat Jawa adalah mbombong.  Sebuah proses pengajaran, bagaimana seorang anak diajari tindak-tanduk, subasita, dan berbagai tata krama dalam bentuk sebuah ucapan yang malah semakin mendorong sang anak untuk melakukan kesalahannya lebih mendalam.

TEGURAN DAN PERINGATAN

Sebagai anak kecil yang menikmati masa kecilnya tak jarang peringatan dari orang tua dihiraukan begitu saja. Seorang anak yang sering pulang main larut malam, atau mandi di kali berkali-kali ditegur akan mengulangi lagi apa yang sudah dilarang orang tuanya.

Di puncak kejengkelan orang tua, yang meluncur dari mulut si orang tua bukan lagi kalimat teguran melainkan pernyataan mbombong, menyuruh si anak untuk tidak pulang sekalian atau malah bisa ditungguin seharian disuruh berenang dikali.

Selain menegur mbombong juga menjadi bagian dari olah rasa orang Jawa, dimana anak-anak diajar peka dengan kehendak orang tua, dan tahu dimana mereka sudah melampaui batas. Diajari supaya njawa.

Kelak semakin menjelang dewasa toleransi terhadap kesalahan biasanya diperketat, andaikata si Anak ini terus tidak bisa diatur, orang tua akan berkata :

“kono mongso bodho’o yen arep dolan terus!”
Kalimat ini menjadi peringatan tegas untuk sang anak supaya benar-benar mau disiplin.

Selain mbombong tentu kita sangat kenal istilah ngunu ning ora ngunu. Memang begitulah akhirnya orang tua Jawa, semarah-marahnya mereka dengan anak-anaknya, di sisi lain pasti ada sikap sangat mencintai anak-anaknya. Sebaliknya, sejengkel-jengkelnya anak terhadap orang tua, pada suatu ketika mereka tetap anak kecil yang membutuhkan kasih dari orang tua, perhatian dari yang sepuh-sepuh. Dalam sebuah frame selalu ada dua sisi ya marah tapi ya cinta, menegur tapi mengasihih. Begitu tapi ya tidak begitu.

PASRAH

Mongso bodho’o selain peringatan juga bisa dimaknai sebagai proses pasrah orang tua terhadap keadaan. Ketika orang tua sudah benar-benar tidak mampu mengontrol si anak, dalam beberapa kasus ketika orang tua sudah maksimal mengupayakan masa depan si anak, tapi keadaan belum menjawab segala kegelisahan orang tua.

Kalimat diatas dipakai untuk ungkapan seserahan sikap dari orang tua ke anak. Misalnya kalimat berikut :

wes mongso bodho’o kunu le, bapak wes ora isa nguliahke, kono golek kerja wae sak anane ditampa uripe kanthi ikhlas”

UNGKAPAN KEJENGKELAN

wes mongso bodho’o mati urip sakarepmu, aku ora arep ngurus, bocah ndableg!”

Yang ketiga kalimat ini memang digunakan untuk ekspresi kejengkelan terhadap kebebalan, kesombongan, tinggi hati sang anak. Sebagai orang tua kadang sudah tidak kurang-kurang untuk menasehati, memberi masukan, saran dan ide untuk kebaikan anak, namun terkadang sikap merasa sudah mampu mengatasi, mantap antikritik, bahkan megalomania bisa menutup mata hati. Disinilah mongso bodho’o benar-benar lugas digunakan sebagai ungkapan kejengkelan. Tanpa maksud lain apapun.

Lebih lanjut pada peringatan 44 tahun peristiwa Malari kemarin Cak Nun menuliskan sebuah puisi berjudul Ma RI Wa La RI, dalam bagian yang merupakan jawaban dari pertanyaan apa pendapat soal RI :

“Mongso bodho-o
Kerang kok nganggo blangkon
Wis gerang-gerang kok takon

Kira-kira dimana presisi ‘mongso bodho’o Simbah soal RI ? seperti biasanya semua tulisan simbah selalu cair, dan menarik untuk dielaborasi.

Apakah diantara 3 terminologi di atas? Atau ada terminologi lain?

Selamat merenung sambil menghitung guyuran hujan yang akan menyerbu RI.

Yogyakarta, 19 Januari 2018

Indra Agusta

Tulisan terkait