Ada dua makhluk perempuan yang sekarang ini saya takuti. Bukan karena takut dimarahi, tetapi takut jika sampai membuatnya marah. Sebab kalau sampai mereka marah, itu sama saja mengundang musibah.
Perempuan pertama yang saya takuti bernama ibu. Yakni ibu saya sendiri. Beliau-lah perempuan ‘sakti’ yang telah melahirkan saya ke dunia. Hidup saya ini sepenuhnya milik beliau. Bagaimana tidak? Ibu telah berjuang mati-matian sendirian sejak saya masih dalam kandungan. Mbobot, momong dan mencari nafkah bukanlah pekerjaan mudah. Melainkan abot dan rekoso. Menguras otak, memeras keringat. Beliau perempuan luar biasa. Yang dapat berperan sebagai ibu sekaligus kepala rumah tangga. Rela banting tulang siang dan malam guna menghidupi dan membesarkan anak-anaknya. Kalau ibu bukan seorang ‘wonder woman’, tak terbayangkan bagaimana nasib saya sekeluarga. Alhamdulillah, untungnya Allah senantiasa menguatkan hamba-hambaNya yang berserah diri pada-Nya.
***
Ucapan seorang ibu sungguh ampuh. Apapun yang dikatakan beliau sebisa mungkin saya laksanakan. Intinya jangan sampai membuatnya kecewa. Apalagi nglarani atinya. Naudzubillah min dzalik.
Sudah berkali-kali saya kena karma ibu saya. Jalaran mbalelo dan ndak mau nuruti dawuh-dawuhnya. Mulai dari yang sepele sampai karma tingkat dewa.
Beberapa contohnya adalah ; dulu ketika SMA, saya pergi ke rumah salah satu teman saat hari menjelang maghrib. Ibu kemudian menegur dan bilang :
“Mbok ya kalau pergi itu jangan pas maghrib. Sebelum atau sesudahnya saja.”
“Emang kenapa?”
“Yo ra ilok. Mending sholat sik kono, baru pergi.”
Saran dari Ibu tidak saya indahkan. Saya tetap nekat pergi ke tempat teman yang jaraknya sekitar tujuh kilometer dari rumah. Motor saya pacu dengan kencangnya. Sampai di tengah jalan adzan maghrib bergema. Seolah tak hiraukan seruan adzan, roda motor semakin kencang berputar bak kesetanan. Na’as terjadi. Beberapa menit kemudian, ada tikungan tajam didepan dan sebuah mobil pick up mogok ditengah jalan.
Braakkk….
Duaaaarrrrrrrrrrrrrr……….
Sreeekkkkkk…….sroookkkkkkk….
Tabrakan dahsyat pun ta terhindarkan. Karena kaget dan tidak bisa njebadani, motor saya menubruk pick up mogok tersebut. Sekencang-kencangnya. Motor melesat ke kanan, berguling-guling di aspal jalanan, dengan posisi mesin masih menyala. Rusak parah! Sedangkan tubuh saya terpelanting hebat ke parit sebelah kiri jalan. Ajaibnya, bagian tubuh saya dari atas sampai bawah, tidak ada yang lecet sedikit-pun. Saya seperti diuncalke Malaikat. Lepas dari ancaman tewas. Andai saya tidak ‘mabur’ ke kiri tapi jatuh ke kanan maka akan lain ceritanya. Ngeri sekali membayangkan-nya. Tapi Alhamdulillah, Tuhan masih sayang dan berkenan menyelamatkan hidup saya. Ucapan ibu sungguh-sungguh malati dan medheni.
***
Selanjutnya perihal karir, pekerjaan juga jodoh. Lagi-lagi saya terkena karma ibu saya. Tak terbersit sedikit-pun dalam benak saya untuk bekerja menjadi seorang guru. Dulu ketika lulus SMA, ibu menyarankan untuk kuliah jurusan PGSD di UNS. Saya tegas menolak. Dan kini saya menelan ludah sendiri. Karma itu datang lagi. Doa ibu saya di bayar lunas oleh Tuhan. Saya menjadi guru SD sekarang.
Begitu juga bab jodoh. Seringkali ibu sampaikan, jika saya menikah nanti, semoga dapat istri yang rumahnya tidak jauh. Rasah adoh-adoh. Ben mbesane penak. Entah guyon atau serius. Lagi-lagi ucapan ibu saya terbukti. Rumah perempuan yang saya nikahi September lalu, hanya berjarak 2,5 km dari tempat tinggalku. Lucu.
Belajar dari pengalaman serta rentetan karma diatas, saya benar-benar ‘takut’ dengan mulut seorang Ibu. Ucapan Ibu ialah doa manjur bagi anak-anaknya. Dan sebagai anak hendaknya taat, patuh, sami’na wa ato’na. Pantas, Isa As begitu mengagungkan Siti Maryam. Uwais Al Qarni rela melakukan apa saja demi memuliakan Ibunya. Serta Simbah yang senantiasa mikul duwur mendem jero terhadap Ibunda Chalimah.
***
Dan kini, tambah satu lagi perempuan yang saya takuti. Yakni sang istri. Tapi jangan terus saya dianggap kelompok SSTI (Suami-suami Takut Istri) lho ya. Haha
Pernah suatu hari kami berdebat hebat soal pekerjaan rumah. Saya menegur dia lantaran kerap menunda-nunda pekerjaan. Dan saya tidak suka dengan itu.
“Kalau bisa dikerjakan hari ini ya mbok dikerjakan hari ini juga. Jangan ditunda-tunda. Itu namanya malas dan tidak menghargai waktu. Jangan suka nggampangke sesuatu.” – Gerutu saya.
Merasa diceramahi dan disalahkan, istri saya ngambek. Menutup pintu kamar lalu krukupan kemul. Menangis mungkin. Saya yang masih agak emosi, langsung saja nyelonong pergi. Motor di stater langsung makwer.
Biasanya, kalau pikiran lagi semruweng, saya larinya ke Hik. Sekedar ngopi dan cisbul. Dengan harapan, rasa kesal-marah-jengkel-nggondok minggat seiring hembusan asap-asap rokok. Hik sudah seperti ‘ruang terapi’. Kalau sudah ketemu orang/ teman, lalu ngobrol ngalor-ngidul, ngguyu bareng, maka pikiran dan hati ini plong kembali.
Dirasa cukup tenang, saya bergegas pulang. Baru ngglinding beberapa meter, motor tiba-tiba goyang. Stang depan rasanya berat. Dan ternyata ban depan saya kempes.
Kamprettt…..!!!!!
Mau nggak mau, motor saya dorong. Menyusuri jalan. Mencari tambal ban, sendirian, disengat terik panas yang ngentang-entang. Dalam hati saya bergumam : “Apakah ini karma karena membuat istri ngambek Tuhan.”
Seketika itu juga, saya langsung menelfon istri saya. Meminta maaf kepadanya.
Tuhan,
aku sudah jera. Jangan ada lagi karma diantara kita.
Gemolong, 15 Januari 2018
Muhammadona Setiawan