Menu Close

Gus Takon Ketemu Ustaz Mumet

Saya sempat mengenyam pendidikan berbasis pertanyaan. Hampir setiap bangun tidur kepala ini dipenuhi oleh kumpulan pertanyaan-pertanyaan yang ketika pertanyaan itu belum sempat menemu jawabannya sudah ditumpuki lagi dengan pertanyaan yang baru. Hidup isinya bertanya-tanya dan tidak puas dengan jawaban yang ada. Selalu dan selalu bertanya. Apalagi kalau sudah menyangkut kata ‘agama’. Mungkin ada yang seperti saya? Kalau ada sila baca tulisan ini sampai titik di kalimat paragraf terbawah. Kalau ada yang tidak seperti saya, saya mohon berhentilah sampai paragraf ini saja.

Sudah? Saya tunggu lho ini. Kalau sudah saya akan lanjutkan. Tolong dicermati, scrollhapenya pelan-pelan saja. Karena ini agak serius. Belum pernah saya seserius ini. Pastikan baterai hape penuh. Siapkan Bank Kekuatan.

Power bank power bank! Ndadak dipikir lho.

Karena terlalu asik menumpuk pertanyaan, ada satu hal yang terlupa. Yaitu bagaimana perilaku saya ketika menyampaikan pertanyaan kepada orang lain. Semua pertanyaan itu kan masih berada di dalam pikir atau para filsuf menyebutnya ‘lamunan’. Nek wes ngalamun, urip iki rasane wes koyok filsuf-filsuf kae. Wes koyok koyoko nemu kebahagiaan sejati. Oke kalau masih di dalam pikiran dan belum keluar dari mulut, berarti sebenarnya pertanyaan itu saya tujukan kepada diri saya sendiri. Di situ runyamnya. Saya tidak terlatih untuk menyampaikan pertanyaan kepada orang lain. Dan ketika saya ketemu orang lain kemudian saya mempertanyakan apa-apa yang ada di dalam pikiran saya sebelumnya, perilaku saya dianggap kurang sopan, tidak mengerti unggah-ungguh, tidak paham momentum, tidak tahu arah pembicaraan, bahkan cenderung membuat tampak bodoh orang yang saya tanya. Padahal niat saya memang bertanya, tapi karena tidak saya latih, maka perilaku yang muncul adalah intonasi yang kurang enak di telinga, otot-otot di sekitar leher yang mengencang, dan kondisi kening yang selalu berkerut.

Orang yang saya tanya, tahunya saya sedang melakukan proses kontradiksi atau perlawanan. Dan banyak orang yang saya tanya kemudian terpancing emosinya. Memuncaklah amarahnya. Yang rugi siapa? Saya sendiri. Karena pertanyaan-pertanyaan saya tidak ketemu jawabannya. Karena yang saya tanyai justru menjadi pusing dengan pertanyaan-pertanyaan saya. Kenapa pusing? Kembali lagi bahwa stok pertanyaan di dalam pikiran saya berlebih. Cenderung overload. Maka ketika ada kesempatan bertanya, pertanyaan yang terlontar dari mulut saya seperti tidak ada habisnya. Jenenge stok akeh, piye carane ben iso payu. Diobral kek. Didiskon kek. Pokoke piye carane supaya ndang entek, ndang kulak meneh.

Sampai sini paham ya? Karena tulisan ini memang saya tujukan, satu untuk diri saya sendiri yang kadang masih tidak bisa mengendalikan diri ketika bertanya. Yang kedua untuk panjenengan yang kebagian tugas untuk menemani orang-orang yang kelebihan stok pertanyaan.

Lalu suatu siang di sebuah sekolah dasar saya bertemu dengan anak kelas 2 SD. Dari pertemuan itu saya sadar bahwa untuk bertanya, tidak bisa asal bertanya

Anak itu menghampiri saya. Tahunya, saya gurunya, saya ustaznya. Kalau guru, kalau ustaz dianggapnya tahu apa-apa. Tidak ada hujan tidak ada angin ribut, dengan raut muka yang serius dia bertanya. Pertanyaan seperti ini.

“Pak Didik, kenapa Spiderman senjatanya jaring?”

Saya membeku mendengar pertanyaan itu. Lidah saya kelu. Mata berkunang-kunang. Kencing tidak lancar. Kurang darah. Oh begini tho rasanya bingung itu. Oh begini rasanya ditanyai oleh orang yang asal bertanya. Jangan-jangan selama ini proses bertanya saya seperti anak kecil itu. Langsung bertanya saja. Tidak ada intro tidak ada pengantar tahu-tahu bertanya. Tidak paham situasi kondisi pokoknya ada orang yang saya anggap tahu, saya anggap ustaz, saya anggap guru, saya anggap Kiai, saya tanyai.

Ingin saya meminta bantuan tetapi hanya ada saya dan anak kecil itu. Namanya anak kecil, kalau saya jawab dengan menggunakan pengetahuan versi saya, ada dua kemungkinan. Dia semakin tidak paham, dan yang kedua karena tidak paham dia akan semakin banyak bertanya.

Sebenarnya ingin saya jawab panjang sekali. Dimulai dari sejarah perkomikan luar negeri. Lalu ada nama perusahaan Marvel. Ada nama Stan Lee. Ada proses dari komik diangkat menjadi film kartun kemudian menjadi film yang diperankan manusia dengan bantuan teknologi CGI. Ada Peter Parker, Paman Ben, Bibi May. Ada eksperimen terhadap hewan. Ada mutasi genetik. Ada tokoh protagonis antagonis. Ada bumbu drama keluarga, percintaan, alur, setting waktu dan tempat, sampai ada Avengers. Mungkin bisa jadi si anak tahunya hanya kata Spiderman. Dia bahkan tidak kenal Peter Parker misalnya.

Tapi untuk menjawab itu semua harus ada alokasi waktu khusus. Saya juga harus memperbanyak referensi mengenai Spiderman dan apa saja yang berhubungan dengannya. Lama nanti jadinya. Mungkin si anak keburu kelas 4. Karena saya pikir, anak kecil itu sedang haus akan pengetahuan. Dan harus segera direspon.

Setelah hening beberapa saat dan saya mengakui kekurangan dalam diri saya, yang saya lakukan adalah saya tidak lantas memberikan jawaban melainkan saya beri umpan, supaya si anak juga mikir. Penak men takon tok. Ya ben mikir to. Begitu batin saya.

“Tidak hanya Spiderman yang punya senjata jaring.” Jawab saya. Anak itu semakin mengkerut keningnya. Seolah bertanya, emang ada? Siapa?

“Di Indonesia banyak.” Imbuh saya. Wajah si anak semain menunjukkan tanda-tanda penasaran yang berkecamuk. Masa ada? Di Indonesia, superhero aja entah ada entah nggak.

“Siapa?” dia bertanya.

Saya jawab, “Nelayan.”

Selesai persoalan pemirsa. Tidak ada pertanyaan lagi. Dia duduk termenung. Saya juga. Kami duduk bersebelahan di tangga. Mungkin dia benar-benar sedang memikirkan tanggapan saya atas pertanyaannya. Atau bisa jadi dia masa bodoh dengan jawaban saya. Yang jelas saat itu saya juga mikir, kok aku pekok ya?

Hari-hari selanjutnya untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan laa ya tahsiib yang tidak disangka-sangka datangnya seperti tadi, yang saya lakukan adalah dengan siapa saya berhadapan. Sebelum anak-anak itu bertanya saya paling tidak harus mau menyelami dunia mereka. Dunia penuh tanya sesuai dengan keseharian mereka. Maka ketika saya harus mengampu pelajaran Basa Jawa, begitu saya masuk kelas, setelah salam langsung saya lontarkan pertanyaan,

“Cah, kenapa Transformer kae sing dadi lakone kok sing mobil? Kok musuhe sing robot pesawat?”

Kelas menjadi senyap. Urusannya dengan Basa Jawa apa?

“Sapa sing isa njawab? Tapi nganggo basa Jawa lho ya. Sukur krama.”

Begitu sedulur-sedulur. Sekarang saya kalau mau bertanya, saya memposisikan diri sebagai pihak yang benar-benar tidak tahu. Karena ada orang bertanya kadang hanya untuk menguji kadar pengetahuan kita. Kadang ada yang hanya iseng. Kadang karena tidak ada satu pun bertanya, kemudian bertanyalah dia. Kadang dia bertanya karena dia butuh persetujuan kita terhadapnya. Kadang bertanya untuk pemantapan, penegasan. Kadang juga dia bertanya dan tidak butuh jawaban kita. Namanya apa? Reto? Retorika. Pinteeerrr…

Sekarang, kalau saya bertanya tentang apapun kepada siapapun, saya anggap saya sedang kesasar di jalan. Sebelum saya bertanya saya harus mematikan mesin motor, kalau pas saya naik motor. Kalau naik pesawat mau tanya sama siapa?

Saya matikan mesin motor. Saya lepas helm saya, kalau pas pakai helm. Kalau pakai topeng Reog, terlalu berat kayaknya.

Saya lepas helm. Kemudian saya pasang senyum. Saya sampaikan salam. Ketika sudah berbalas barulah saya sampaikan pertanyaan saya.

“Assalamu’alaikum ustaz.”

“Wa’alaikumsallam gus.”

“Utaz ngapunten, saya mau tanya.”

“Iya gus. Tanya apa?”

“Ustaz rumahnya Spiderman sebelah mana ya?”

Begitulah kalau Gus Takon ketemu Ustaz Mumet.

Oleh: Didik W. Kurniawan

Tulisan terkait