Cuaca cerah bergairah mengiringi perjalanan kami menuju Wonogiri. Dalam rangka menyambung silaturahmi serta ngaji bersama Simbah Kyai (baca. Gus Mus). Kami otewe dari Gemolong pukul 5 sore dengan mengendarai roda empat. Namun kami tidak berempat, melainkan berlima. Sudah lama rasanya kami absen ngangsu kawruh bersama Mbah Yai Mustofa Bisri. Dan kesempatan untuk ngaji bareng Gus Mus di Wonogiri selasa lalu teramat sayang untuk dilewatkan.
Perjalanan dari Gemolong ke Wonogiri, kira-kira memakan waktu 2 jam. Kalau lancar. Dan Alhamdulillah, perjalanan kami kemarin mulus tanpa hambatan. Sesekali hujan menyapa tiba-tiba lalu pergi lagi. Seperti rindu, datang dan pergi begitu saja. Semua ku terima apa adanya. Mata terpejam dan hati menggumam. Diruang rindu kita bertemu. Kok malah nyanyi. (Hihi)
Singkat cerita, pukul setengah delapan malam kami tiba di TKP. Yakni di Alun-alun Giri Krida Bakti Wonogiri. Kami lekas mencari Masjid untuk menunaikan sholat jamak maghrib dan isya’. Usai sholat, kami berlima sepakat memesan 5 mangkok mie ayam. Kami lapar kawan. Dan tentu semua tahu, bakso dan mie ayam khas Wonogiri memiliki cita rasa yang amat tinggi. Lezat-nikmat. Terbukti!
Sembahyang sudah, makan juga sudah. Selanjutnya bersiap memberi ‘makanan’ untuk rohani. Jam ditangan menunjukkan pukul setengah sembilan. Dari atas panggung musik Qasidahan masih terus mengalun. Shalawatan memuja-muji Kanjeng Nabi. Ratusan kursi yang berjajar rapi telah penuh ditempati oleh tamu undangan dan para jamaah. Saya berlima memilih duduk lesehan disebelah kanan panggung.
Tak selang lama, teman-teman Banser berbaris memanjang membuat pagar betis. Mengawal Gus Mus yang mulai berjalan dari tempat transit (pendopo Bupati Wonogiri) memasuki area Alun-alun. Nomor Hubbul Wathon dari tim Qasidah diikuti para Jamaah bergema membersamai Gus Mus menuju panggung utama.
Tepat pukul sembilan, acara Ngaji bareng dibuka dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Suasana mendadak khusyuk dan khidmat. Atmosfer semakin membikin merinding manakala seorang Qori maju ke atas panggung melantunkan ayat suci Al Qur’an. Segala sesuatu yang ada situ seakan diajak untuk berdzikir kepada Allah. Manusia, angin, gelombang, udara, rumput, pohon, binatang malam, mereka semua nampak larut dalam kemesraan meng-Agungkan asma Allah Swt.
Selanjutnya, sambutan demi sambutan disampaikan oleh ketua panitia, ketua MUI daerah Wonogiri dan wakil Bupati Wonogiri. Mereka semua takzim kepada Gus Mus dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kerawuhan beliau di Wonogiri.
Udara malam itu cukup dingin. Angin berhembus menembus pori-pori. Untuk menghangatkan badan, saya sruput kopi hitam dan nyumet sebatang Gudang Garam. Makpyar. Mata langsung padhang. Badan jadi segar.
Menjelang pukul setengah sepuluh, Mbah Mus dipersilakan oleh pembawa acara untuk memulai tausiahnya. Dengan suara halus, lembut, bersahaja, Gus Mus menyapa para jamaah dengan salam ; “Assalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh”. Mata, telinga, dan hati seluruh jamaah fokus menyimak kata demi kata yang disampaikan Gus Mus.
“Saya ndak usah ngomong banyak sama sampeyan semua. Judulnya nggak usah ngaji, tetapi ngajak saja. Saya pengin ngajak kepada diri saya sendiri dan hadirin semua. Mengajak dua hal. Itu saja.”
Yang dimaksud dua hal oleh Gus Mus adalah, pertama mengajak untuk bersyukur kepada Allah Swt. Bahwa kita, khususnya masyarakat Wonogiri telah diberi nikmat luar biasa oleh Allah Swt. Nikmat luar biasa itu adalah Iman dan Islam. Kenapa luar biasa, karena tidak semua orang mendapatkan nikmat (Iman & Islam) itu. Kemudian Mbah Mus bercerita, membandingkan kehidupan kita sekarang dengan kehidupan jaman Rasulullah kala itu.
“Wong Wonogiri kuwi gak tau weruh Kanjeng Nabi Muhammmad. Tapi kok gelem moco Syahadat. Mau mengimani bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah duta utusan Allah. Padahal kita yang hidup dijaman sekarang ini kan tidak pernah melihat fisiknya Kanjeng Nabi. Tapi kok gelem-gelemé ngimani. Kan kuwi hebat tho.” – jelas Gus Mus.
Sebab ada dan banyak orang yang hidup dijaman Nabi dulu, tapi mereka tidak mau mengimani keNabian beliau. Seperti Abu Jahal. Pamannya Rasulullah sendiri. Karena sombong dan keras kepala Abu Jahal ogah untuk bersaksi-bersyahadat. Abu Jahal sebenarnya percaya adanya Allah. Namun ia enggan mengakui Muhammad sebagai utusan Allah. Ia merasa bahwa dirinya lebih hebat, lebih unggul, lebih kaya, dan segalanya dibanding Muhammad. Sehingga ia tidak mau terlihat rendah dihadapan Muhammad.” – terang Gus Mus.
“Jadi, kesimpulannya adalah ; nikmat Iman dan Islam itu sejatinya hidayah dari Allah. Allah ‘memilih’ siapa saja yang hendak dikaruniai nikmat Iman dan Islam. Kalau kita yang ada disini bersedia iman kepada Allah dan Rasulullah, berarti kita ini InsyaAllah hamba pilihan yang dipilih Allah. Maka kita harus senantiasa bersyukur kepada-Nya.” – Gus Mus menekankan.
Hal yang kedua, Gus Mus mengajak hadirin dan seluruh anak-cucu untuk mencintai dan menjaga rumah kita. Rumah kita bersama yang bernama INDONESIA. Indonesia adalah tanah kelahiran sekaligus tanah pekuburan kita. Hidup dan mati kita diatas dan dibawah tanah Indonesia. Maka wajib bagi kita untuk mencintai dan menjaga NKRI.
Gus Mus (GM) kemudian menyinggung sedikit perihal penghargaan Yap Thiam Hien tahun 2017 yang baru saja beliau terima beberapa waktu lalu. GM dianugerahi Award tersebut karena dinilai memiliki perhatian besar terhadap perjuangan dan tegaknya nilai-nilai hak asasi manusia. GM juga telah berkontribusi dalam merawat, memelihara keberagaman di Indonesia. Dan GM menjadi kiai pertama yang mendapatkan penghargaan tersebut.
“Sebetulnya saya itu tidak paham tentang HAM. Saya cuma berusaha menjalankan apa yang didawuhke ayah saya dulu. Kita ini ditakdirkan Tuhan untuk menjadi manusia Indonesia dan beragama Islam. Indonesia adalah rumah besar kita. Jadi kalau ada yang mau merusak rumah kita, ya kita mesti mencegahnya. Rumah adalah tempat kita untuk berteduh, bernaung, dan berlindung. Sehingga mesti kita rawat, kita jaga semampu kita.” – Gus Mus menjelaskan kepada para jamaah penuh sahaja.
***
Muhammad adalah manusia paling manusia
Malam semakin gelap. Angin lirih semilir. Dan kopi kian menipis. Sebatang rokok dinyalakan lagi untuk mengusir kecut di bibir.
Pengajian Gus Mus adalah model satu arah. Yakni narasumber menyampaikan ceramah, dan jamaah khidmat menyimak. Ini berbeda dengan pengajian ala Maiyah. Dimana ada semacam dialog dan sesi tanya jawab disana. Durasi pengajian Gus Mus juga tidak lama. Berkisar satu hingga dua jam. Lain dengan Maiyahan yang biasa berlangsung sejak malam sampai subuh menjelang. Meski tak berlangsung lama, tetapi pendaran ilmu dan hikmah yang disampaikan Gus Mus sangat mengena. Mentes. Dan mudah dicerna.
Menjelang akhir ceramah, Mbah Mus mengingatkan bahwa suri tauladan terbaik dalam hidup beragama, berumah tangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tak lain dan tak bukan ialah Kanjeng Baginda Nabi Muhammad Saw. Muhammad itu manusia yang paling manusia. Manusia yang paling mengerti manusia. Manusia yang bisa memanusiakan manusia. Jangan dikira Nabi Muhammad itu bukan manusia seperti kita.
Nabi Muhammad itu didawuhi Allah untuk ruhud dakwah. Mengajak umat dalam kebaikan dengan cara yang baik pula. Bukan memaksa apalagi mengancam. Mengajak dengan memahami kondisi dan situasi siapa yang diajaknya. Ora waton di gebyah uyah.
“Aku ra meh ndalil. Mengko mbok paido.”
Kelakar spontan Mbah Mus disambut gelak tawa jamaah.
“Kiai ndalil dipaido, kiai nyampekno hadits disanggah, shahih apa dhaif. Aku ki kiai, nak gak shahih yo ora bakal tak sampekno.”
Tawa jamaah kembali pecah.
Mbah Mus seolah merasa geli, menyaksikan manusia sekarang yang nggak tau ngaji, nggak pernah nyantri tetapi sok keminter, dan mbagusi. Merasa paling benar sendiri. Suka pethentengan kalau berbeda dengan yang lain. Padahal beda itu fitrah Allah. Wajar. Suatu keniscayaan.
Allah melalui Muhammad menyuruh umat manusia bertakwa sesuai kadarnya masing-masing. Sebatas kemampuan-nya. Layukallifullohu nafsan illa wus’ahaaa.
“Porah aku ndalil sitik. Arek mbok paido karepmu.” – canda Gus Mus. (Haha)
Contohnya banyak dikeseharian kita. Misal, kita sedang sakit dan tak mampu berdiri untuk sholat, maka sholat sambil duduk pun tak apa. Kemudian saat bulan Ramadhan, kalau anda mampu untuk sholat tarawih sebanyak 21 raka’at monggo. Namun jika tidak kuat, 11 raka’at pun diperbolehkan. Lagi, andai kita hanya sanggup berinfak seminggu sekali, yakni mengisi kotak amal saat sholat Jumat, ya silakan. Tidak apa-apa. Dlsb.
“Gusti Allah ki perso potongan koyok sampeyan.”
Lagi-lagi jamaah dibuat terbahak oleh Gus Mus.
“Intine Islam itu mudah. Ora usah digawe ruwet dan pethentengan. Apa yang diajarkan Rasulullah itu jan-jané gampang untuk dilakukan. Islam hadir bukan untuk mempersulit dan memperkeruh kehidupan. Justru sebaliknya. Islam datang untuk menjadikan hidup terasa tenang, tentram, aman, damai dan bertabur kasih-sayang.
“Pokoké kalau ada hal-hal yang sekirané memberatkan manusia, berarti itu bukan ajarannya Rasulullah Saw. Wis ngono wae”. – Tutup Mbah Mus.
Tepat pukul sebelas malam acara pengajian ditutup dengan doa bersama yang dipimpin oleh ketua MUI kabupaten Wonogiri. Pasukan Banser bergegas membuat barisan pagar betis. Mbah Mus beserta rombongan melangkah pelan turun dari Panggung. Spontan, saya teringat istri dirumah. Ia tak bisa ikut lantaran tengah hamil muda. Spontan, botol air mineral didalam tas saya ambil. Bersama jamaah yang lain, saya ikut merangsek maju ke depan. Dalam hati bergumam ; ” Ya Allah, izinkan hamba untuk ngalap berkahé Simbah.”
Ratusan Banser mengawal ketat langkah Mbah Kiai menuju Pendopo Bupati. Saya terus mencari celah agar dapat bermuwajahah secara dekat dengan beliau. Aksi saling dorong pun tak terhindarkan. Badan saya tergencet diantara kerumunan jamaah. Hingga jatuh, terpelanting ke tanah. Semua orang punya motivasi yang sama. Ingin bertatap muka dan bersalaman dengan guru yang dicintainya.
Tak mau menyerah. Saya bangkit lagi. Kemudian lari ke arah pintu gerbang pendopo Bupati. Ternyata disana sudah banyak berjajar santri putra-putri yang juga menunggu datangnya Simbah Kiai. Saya ikut nimbrung dibarisan mereka.
Terlihat dari kejauhan Mbah Mus masih setia meladeni uluran tangan dari ribuan jamaah. Beliau terus menebar senyuman ke arah kanan dan kiri. Langkah beliau semakin mendekat. Merapat ke barisan tempat saya berdiri. Dan seketika itu, saya pun berteriak.
“Gus…. Gus…”
“Gus Mus… Gus… Gus Mus….. “
Saya berteriak kencang dan sangat emosional.
“Gus….”
“Istri saya sedang hamil dirumah, mohon didoakan Gus…” (Sembari menyodorkan botol air mineral ke arah Gus Mus)
Reflek atau mungkin ditepuk bahunya oleh Jibril, Gus Mus menoleh ke arah saya. Menatap wajah saya dan mengambil botol air mineral yang saya sodorkan. Gerak cepat, beliau umak-umik (merapal doa) lalu meniupkan ke dalam botol air mineral tersebut. Dan dikembalikan kepada saya.
“Matursembahnuwun Gus.” – Saya senang bukan kepalang.
HP berdering. Ada WA masuk dari teman. Rupanya mereka sudah menunggu saya diparkiran. Alhamdulillah wa syukurillah, kami pulang dengan membawa sebungkus ilmu dan hikmah. Khusus bagi saya, dapat bonus sebotol air berkah (Insya Alloh).
Seperti pesan Mbah Kiai, mari terus belajar menjadi manusia Indonesia yang islami, guyub, rukun, cinta damai, bergandengan tangan dalam keberagaman. Bersama-sama kita jaga dan kita rawat, negeri-rumah-tanah air kita tercinta Indonesia.
Wassalam
Gemolong, 14 Februari 2018
Muhammadona Setiawan