DANARTO, adalah salah satu dari beberapa nama sastrawan yang karyanya saya simpan di rak usang rumah saya. Tulisan-tulisannya sangat kental dengan refleksi ketuhanan, kemanusiaan, memaksa saya yang masih timur ini untuk berulang-ulang membaca satu judul, guna menelaah maksud dari sang begawan.
Sragen kota tanah kelahiran saya, juga merupakan bumi dimana beliau membuka mata, memulai dimensi awal kehidupan. Lahir sebelum republik berdiri, beliau lahir sebagai anak buruh pabrik gula Mojo, menjalani berbagai jaman tentu menjadi jalan panjang menuju kelahiran sebuah perenungan dan kemudian sastra-sastra yang mencengangkan Godlob misalnya.
Dari kesamaan kota kelahiran ini pula saya mencari-cari siapa yang menorehkan nama harum ke bumi sukowati di dunia sastra selain Koo Ping Ho, dan Mas Danarto adalah jawabannya.
Ngunu tapi ya aja ngunu, itulah idiom yang pertama kali saya kenal dari beliau. Idiom jawa yang seringkali hanya dicap sebagai sikap plin-plan oleh manusia modern. Namun tentu tidak demikian bagi kami yang biasa dengan tradisi jawa. Proses begitu tapi begitu tapi mbok jangan begitu adalah proses terus menerus mencari mana yang paling benar, olak alik pendaran pada setiap keputusan, menimbang-nimbang terus menerus setiap efek yang ditimbulkan dari sebuah keputusan atau perbuatan.
Selanjutnya adalah perhatian beliau yang mendalam menyangkut kasus kemanusiaan yang menimpa tanah kelahirannya, Kasus Kedungombo. Penggusuran yang dilanjutkan penenggelaman paksa beberapa desa, menggugat nuraninya untuk menyampaikan kritik pedas pada rezim, melalui tulisan maupun melalui pentas teater sesuatu yang langka dilakukan oleh manusia jaman itu.
Kritik pedasnya tidak berhenti sampai disitu, beberapa kasus seperti Marsinah,Wiji thukul kenaikan harga pokok, perang Iran – Irak juga membuatnya tak bisa diam untuk mengutuk berbagai ketidak adilan.
Soal carut marut negeri memang berkali-kali beliau memberikan referensi gagasan meski sama sekali tidak pernah dielaborasi oleh pemerintah.
Penempatan Sastrawan harus setara Mahkamah Agung, Dewan Pertimbangan Agung dan DPR misalnya, adalah loncatan pemikiran yang menarik untuk dipelajari, bagaimana sastrawan yang sama sekali tidak punya pamrih material, justru karena itu akan melahirkan pemikiran-pemikiran bening untuk kewibawaan sebuah negara. Namun ide itu juga selama ini hanya semu, tidak pernah menjadi realitas, bahkan manusia modern mengira sastrawan sama dengan penulis, atau menganggap pentas teater hanya sebagai lelucon hiburan, benar-benar degradasi pemahaman.
Kehidupan yang sederhana menikah dengan seorang psikolog yang kemudian berbeda perjalanan keber-agamaan adalah pengalaman hidup tersendiri bagi seorang Danarto, bagaimana istri beliau kemudian memutuskan untuk menjadi pengikut Lia Eden, perceraian tanpa dikaruniai buah hati dan berbagai lakon seperti harus berhutang kesana kemari untuk menjalani hidup sangat tidak pantas rasanya bagi seorang Danarto ditelantarkan negara sedemikian rupa.
Gagasan perlu adanya Semar yang menjadi rujukan permasalahan bangsa juga pernah dituliskan Danarto. Bagaimana ketika jagad gonjang ganjing ada dewa yang mau menemani rakyat. Soal kebegawanan ini dalam tulisan di Republika berjudul Batas kekuatan dan Ajal beliau menyebutkan ada beberapa tokoh yang layak disebut Semar diantaranya : Harry Roesli, Iwan Fals, Nano Riantiarno, Nurcholis Majid dan tentu adalah guru kita semua Emha Ainun Najib.
Mengutip mbah Danarto:
“lima orang Semar ini selalu mengayomi dan memberikan kesadaran sejarah bagi jamaahnya. Mereka menyodorkan pilihan sistem dan budaya yang selama ini dicari-cari. Mereka membentuk ideologi kelas menengah ke atas (dan juga ke kelas bawah) sehingga kelas ini tidak merasa kesepian dalam mengarungi jaring-jaring sosial politik, ekonomi, dan kebudayaan yang sangat ruwet dan berbahaya”
Beberapa sudah meninggal yang tersisa gaungnya tinggal Emha dan Iwan Fals. Memang mereka berdua ini yang menjadi inspirasi bagi banyak orang sekarang. Menyoal Emha tentu Danarto lebih banyak menulis tentang beliau karena kedekatannya soal sastra, teater juga berbagai permasalahan politik negeri.
Di mata Danarto Emha adalah Begawan-nya Indonesia, tempat dimana limpahan masalah dicurahkan kepadanya, terkadang dengan kelakar “Emha tak lelah-lelahnya beredar terus membangunkan para petani gurem, meskipun sandungannya semakin banyak dan fantastis” memang tidak mudah menemani Indonesia. Dan banyak cerita lagi soal Emha, nampak sekali Danarto menaruh harapan masa depan pada Emha yang berumur jauh dibawahnya.
Malam tadi, setelah kecelakaan yang menimpanya Mas Danarto berpulang. Sedih rasanya karena belum sempat bertemu dan ngobrol dengan beliau. Saya jadi teringat Cak Rusdi Mathari dulu pernah menuliskan ketakutan mas Danarto pada kiamat, Jika semuanya musnah kita jadi mahkluk terakhir, atau takutnya beliau naik ambulan. Tahun ini keduanya sudah kekal, cak Rusdi juga sudah mendahului berpulang, sementara malam ini Mas Danarto diperjalanan terakhirnya justru melewati perjalanan panjang Jakarta-Sragen menaiki ambulan. Begitu namun ya tidak begitu akhirnya.
Maturnuwun mas, selama ini memasuki ruang pemikiran mendalam perenungan saya, banyak ilmu dan goresan makna yang sampai saat ini belum selesai saya serap, namun pelan-pelan semoga waktu menjawabnya.
Sugeng tindak Mas Danarto, selamat lahir dan kembali ke bumimu tercinta. Sukowati.
Sragen, 11 April 2018
Indra Agusta