Menu Close

Membangun Kesadaran Keraton Sebagai Pusaka Bangsa

Jika kita tidak memiliki kesadaran tentang masa silam, maka kita tidak akan punya masa depan. (Mbah Nun)

Suasana pendopo Dalem Prangwedanan telah ramai sejak shalat jumat usai. Para tokoh masyarakat, akademisi, maupun masyarakat umum hadir di sana untuk mengikuti seminar yang digelar dalam rangka mangayubagyo Tingalan Wiyosan Jumenengandalem ke-30 Sri Paduka Mangkunagoro IX.

Mbah Nun yang sudah hadir lebih awal berbincang-bincang bersama panitia penyelenggara yang merupakan keluarga besar Puro Mangkunegaran Surakarta. Tepat ketika pukul 14.00 WIB sesuai dengan yang telah dijadwalkan, Mbah Nun pun didherekke untuk rawuh di hadapan peserta beserta perwakilan penyelenggara dan moderator.

Mengingat terbatasnya waktu, seminar pun segera digelar. Mbah Nun langsung mengawali dengan titik tekan utama bahwa segala keruwetan yang sedang melanda kehidupan kita baik dalam skala rumah tangga, bangsa dan negara, hingga skala global tidak lain adalah karena dismanagement pikiran dan hati. Akibatnya kita semua mengalami ketidaktepatan dalam memandang hidup ini.

Seperti halnya ketika beliau menyampaikan pemikirannya di forum-forum maiyah, beliau mengajak peserta untuk melihat hal-hal yang terjadi di kehidupan sebagai pintu masuk untuk memahami hulu hingga hilirnya atas sesuatu hal. Sehingga cara berpikir kita runtut dalam memahami persoalan.

Pertama, beliau memaparkan tentang perkembangan dari buah kelapa. Yaitu dimulai dari bluluk yang disimbolkan sebagai sesuatu yang belum jelas anatominya. Kemudian ia berkembang menjadi cengkir yang mulai terlihat bagian-bagiannya. Kemudian ia berkembang menjadi degan yang sudah memiliki bagian-bagian dengan fungsinya masing-masing, saja belum sempurna. Hingga akhirnya ia menjadi buah kelapa paripurna yang sudah jelas bagian-bagiannya dan fungsinya.

Terkait empat hal tersebut, kita dijebak oleh cara pandang global yang materialistik. Sehingga kita memandang bluluk, cengkir, degan, dan kelapa sebagai empat hal, padahal sejatinya itu satu. Demikian pula kita akhirnya membedakan jasmani dan ruhani, padahal jasmani sebenarnya bagian terluar dari ruhani. Sama halnya kita membedakan dunia dan akhirat, padahal dunia sebenarnya episode awal dari akhirat. Karena cara pandangnya seperti itu akhirnya kita terbiasa memisah-misahkan hal-hal yang sebenarnya satu kesatuan dalam sebuah fase yang dinamis.

Dalam kenyataannya, ada manusia yang cara berpikirnya bertahan seperti bluluk, ada yang cengkir, ada yang sudah degan, dan masih sedikit yang seperti kelapa. Padahal seharusnya proses yang harus dibangun dalam cara berpikir manusia adalah terus berevolusi agar tidak terjebak pada cara berpikir yang stagnan. Jangan seperti situasi negara saat ini yang menurut beliau lebih cenderung seperti negara bluluk karena tidak jelas fungsinya, mana negara mana pemerintah, mana fungsi kontrolnya dan mana pelaksananya. Lebih jauh lagi, negara ini tidak memiliki kesadaran masa silamnya sehingga tidak bisa menempatkan seharusnya posisi kraton seperti apa dalam penyelenggaraan negara seperti sekarang. Karena tidak memiliki kesadaran pada pusaka, maka apa-apa yang diwariskan para leluhur hanya dilihat secara materi dan berakhir sebagai benda-benda saja.

Mbah Nun kemudian bertanya kepada jamaah. Apakah al Quran bisa dilihat? Para jamaah langsung menjawab bisa. Beliau membantahnya karena yang dilihat adalah mushaf. Mushaf adalah pintu masuk untuk menemukan al Quran, tapi bukan al Quran itu sendiri. Beliau melanjutkan dengan pertanyaan, apakah cantik bisa dilihat? Tidak, yang bisa dilihat adalah wajahnya. Apakah gelombang dapat diraba? Tidak, yang dapat diraba air lautnya. Apakah rasa manis dapat dilihat? Tidak, yang dapat dilihat adalah gulanya. Kemampuan kita mengenali dua hal ini akan membuat kita bisa mengenali sesuatu di sebalik hal-hal yang terlihat.

Kembali kepada persoalan kraton, maka yang terpenting dari kraton bukanlah bangunan kratonnya. Tetapi kesadaran tentang kraton sebagai pusakanya. Ia ibarat orang tua yang menyepuhi sebuah keluarga. Jika kita disuruh memilih, mana yang kita pandang lebih berharga? Orang tua kita yang sepuh atau kekayaan kita yang berlimpah-limpah besarnya? Tentu saja jika pikiran kita tidak materialistik, kita akan langsung mengerti bahwa orang tua kita jauh lebih berharga di atas semua kekayaan yang kita miliki. Maka dari itu, jika kita melihat kelakuan raja yang tidak benar, jangan lantas disalahkan kratonnya. Karena kraton itu sesuatu yang menjadi kesadaran cara berpikir kita, sedangkan raja dan bangunan istana hanyalah wujud material terluarnya. Tanpa kesadaran akan pusaka ini, bangsa Indonesia dan negara ini ke depannya tidak akan memiliki masa depan yang jelas.

Suasana semakin dinamis ketika peserta mulai bertanya kepada Mbah Nun. Dari problematika yang sedang terjadi di tengah umat Islam, beliau menekankan bahwa saat ini kita terjebak untuk memegangi tafsir dan tidak melakukan tadabbur. Sehingga kita sulit menemukan kebijaksanaan. Karena tidak ada kebijaksanaan kita lebih sibuk mempertengkarkan kebenaran dan tidak berunding untuk melahirkan output kebaikan bersama yang menguatkan persatuan. Kita sekarang perlu mempelajari kembali agar memiliki kesadaran tentang sesepuh, pusaka, pandita, keris agar menumbuhkan kebijaksanaan. Karena kepemimpinan itu bukan hanya tentang ilmu, tapi juga kebijaksanaan. Tak lupa beliau juga menceritakan pengalaman ketika bersama beberapa tokoh bangsa seperti Nurcholish Madjid dan Gus Dur pasca lengsernya Seoharto. Banyak pelajaran yang dapat dipetik di dalamnya yang mungkin selama ini tidak diungkap oleh media massa.

Tak kalah menariknya beliau merespon pertanyaan salah seorang peserta yang beragama katholik tentang relasi Islam dan Jawa. Sebagai salah seorang penggiat permberdayaan perempuan dia tertarik untuk belajar tentang Jawa dan Islam. Mbah Nun memberikan kata kunci tentang dialektika Jawa dan Islam seperti tumbu ketemu tutup. Beliau membabar berbagai kearifan Jawa yang sangat bersesuaian dengan Islam. Sehingga keduanya adalah hal yang menyatu. Sebagai orang Jawa kita harus tetap menjadi manusia dengan kebudayaan Jawa karena itu titah dari Allah dengan prinsip Jawa digawa, Arab digarap, dan Barat diruwat.

Acara seminar pun diakhiri dengan jabat tangan dan perjumpaan dua sahabat antara Mbah Nun dan Bapak Permadi. Para peserta pun satu per satu meninggalkan pendopo Dalem Prangwedanan. (Ardika)

Reportase Seminar Bareng Mbah Nun “Memasadepankan Masa Silam” pada tanggal 29 September 2017

Tulisan terkait