Hujan deras mengguyur lapangan Puro Mangkunegaran. Jamaah yang sudah memadati lapangan sebagian menepi ke koridor-koridor bangunan yang merupakan bagian dari kompleks kraton. Banyak juga yang mensyukuri nikmat hujan dengan tetap bertahan di tengah lapangan.
Diiringi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IX dan kerabatnya, Mbah Nun naik ke panggung setelah sebelumnya Kiai Kanjeng memulai acara sinau bareng dengan wirid Padang Bulan. Beliau tampak sumringah melihat jamaah yang bersemangat dan semakin banyak yang memadati lapangan kembali setelah hujan reda.
Mbah Nun menyapa jamaah dengan mengajak mereka mentadabburi hujan. Peristiwa turunnya hujan adalah pelajaran penting dari Allah kepada kita bahwa apa yang tidak kita ketahui jauh lebih banyak dari apa yang baru kita ketahui. Sehingga diharapkan kita bersedia untuk berendah hati dan belajar melihat berbagai hal dengan didasari keyakinan kepada Allah.
“Pikiran harus merdeka dan mengembara, tapi ia harus dikendalikan oleh hati yang suci.” Demikian Mbah Nun menekankan.
Karena tema sinau bareng kali ini adalah “Memasadepankan Masa Silam”, Mbah Nun mengajak jamaah mempelajari apa yang terkandung dalam lagu dolanan Gundul-Gundul Pacul. Sebuah karya wali yang meskipun biasa ditembangkan anak-anak, sebenarnya isinya adalah nasihat yang sangat mendalam kepada para pemimpin agar tidak menyia-nyiakan amanat rakyat.
Mbah Nun memaparkan lima pilar NKRI versi beliau. Pertama adalah rakyat, kedua adalah militer, ketiga adalah kaum cendekiawan, keempat adalah kebudayaan, dan kelima adalah kaum spiritual atau ulama. Namun saat ini kita didominasi oleh kaum cendekiawan yang tidak amanah, sehingga kita mengalami situasi yang sangat memprihatinkan karena tidak dijaganya pilar-pilar yang lain.
Salah satu sahabat Mbah Nun, yang pernah menjadi atase kebudayaan di London pun diminta berbagi tentang sisi baik dari negara Inggris. Beliau mencontohkan bagaimana Inggris adalah negara yang sangat menghargai masa silam mereka sehingga memiliki pijakan bagaimana membentuk masa depan. Sebagaimana negeri ini, dahulu Inggris yang dikenal sebagai United Kingdom sesungguhnya adalah persekutuan dari kerajaan-kerajaan yang pada mulanya saling berperang satu sama lain.
Ketika Prancis berhasil menjajah mereka, kerajaan-kerajaan kecil ini sadar untuk bekerja sama mengusir penjajah. Pelajaran yang dapat diambil adalah kerajaan-kerajaan ini akhirnya bersedia bersatu menjadi sebuah negara persemakmuran (commonwealth). Hal inilah yang ternyata terputus di negeri kita setelah kita berhasil melepaskan cengkeramannya dari Belanda dan Jepang. Kita kemudian tidak lagi memiliki kesadaran untuk meletakkan kerajaan-kerajaan yang dahulu melahirkan Republik Indonesia ini sebagai orang tua atau sesepuh untuk negara ini.
Mbah Nun pun berpesan kepada para jamaah, khususnya generasi muda untuk mulai belajar menghargai masa silam sebagai pijakan menuju masa depan. Ibaratnya akan memanah, melihat masa silam sejauh mungkin adalah untuk menghasilkan tarikan ke belakang yang kuat sehingga dapat melesat dengan cepat dan presisi menuju masa depan.
Tanpa terasa, waktu telah melewati tengah malam. Meskipun air situasi cukup dingin selepas hujan dan banyak yang kebasahan, tapi tidak mengurangi semangat untuk terus menggali ilmu. Penampilan Kiai Kanjeng malam ini juga sangat apik hingga membuat Raja Mangkunegara dan istri terkesan. Beliau beserta kerabat keraton pun menemani acara hingga sesi salaman. Suasana keakraban begitu terasa antara raja dan rakyatnya pada malam hari ini. (Ardika)