Menu Close

Desa Boomers, Desa Milenial, Desa Kita

0Shares

Cak Nun berkata melalui bukunya bahwa Indonesia adalah bagian dari desa saya. Sungguh wasis nan waskita budayawan yang satu ini. Selain persoalan bangsa era 70-an masih relevan dibawa-bawa sampai ke era ini, ternyata desa-desa sekarang memang mirip bahkan mendekati sama dengan bagiannya, yaitu Indonesia.

 “Ya bener to, Mbah. Lha wong namanya saja bagian. Ya jelas masih punya kemiripan dengan induknya. Begitu juga sebaliknya”, Gembus menyela.

“Lha iya, nggak salah to omonganku? Desa sekarang kan bertambah mirip karena desa mana to yang tidak punya anggaran melimpah? Dulu, di desa ini cari orang yang mau nyalon jadi lurah saja susah. Orang-orang lebih memilih merantau yang penghasilannya lebih gede”

“Penghasilan tidak seberapa, buat nyumbang mantu orang sedesa saja kurang. Coba bayangkan kalau jadi lurah. Pasti diundang dan mosok ya ora nyumbang dan nominalnya sama seperti warga biasa?”

“Iya ya, Mbah. Sekarang desa semakin ramai. Pembangunan infrastruktur dan program pemberdayaan masyarakat semakin terealisasi. Bahkan di desa sebelah hampir tiap RT ada koneksi internet gratis. Di sepanjang jalan menuju lereng gunung juga banyak dibangun penginapan untuk wisatawan. Acara kebudayaan sekarang juga hampir setiap tahun sekali pasti ada”.

“Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Ini kata Koes Ploes coba kalau kata milenial sekarang, apa mewahnya tongkat kayu dan batu jadi tanaman kalau dana desa bisa membuat semua orang bahagia? Memang brilian orang-orang terpelajar ini. Mereka berlomba-lomba mengadakan program terbarukan tanpa henti demi terwujudnya bangsa yang maju.  Di tengah terik modernisasi, mereka juga masih mempunyai semangat juang untuk merawat khasanah kebudayaan di desanya. Menciptakan inovasi-inovasi terbaru agar sosial ekonomi warganya maju seperti dikota-kota.

Doktrin mahasiswa dan kaum terpelajar sebagai agent of change,  ia harus berperan aktif dalam setiap perubahan, termasuk pembangunan desa menuju desa yang lebih maju. Modernisasi harus difilter agar tidak bebas keluar masuk desa. Modernisasi harus menjadi jalan agar tradisi tetap lestari. Program desa wisata adalah anugerah.  Semakin banyak wisatawan datang, maka semakin baik pula keadaan perekonomian masyarakat. Dibangunlah akses dan fasilitas, tol, bandara, jalan raya, spot-spot untuk berfoto bahkan sampai penginapan serta kios oleh-oleh khas desa. Selain itu, tradisi sebagai ciri khas desa harus ditampilkan . Agar menarik wisatawan serta menyadarkan masyarakat akan pentingnya merawat tradisi dan budaya yang diwariskan leluhur zaman dahulu.

“Mbus, habis dana berapa kamu kemarin bikin festival budaya itu?”

“Nggak banyak, Mbah. Cuma seratus juta lebih dikit lah seperti yang diajukan tahun kemarin. Ngundang dalang sama reog dari desa sebelah juga tidak butuh biaya banyak. Konsumsi tinggal kasih ke catering. Panggung dan soundsystem juga sudah diurus dari sononya. Panitia cuma mikir persiapan dan pelaksanannya saja.”

“Seneng banget, Mbah. Tiap tahun semakin ramai. Ternyata masyarakat desa ini masih peduli dan mau nguri-nguri kabudayan leluhur”, kata Gembus dengan bangganya.

Kasihan para Boomers. Mereka terlalu takut terhadap para milenia penggerak perubahan. Mereka terlalu merindukan suguhan masakan ibu-ibu yang rewang saat punya hajatan. Mereka mengelu-elukan romantisme gotong royong kawan seumurannya saat membuat panggung dan kemeriahan anak-anak bermain di sekelilingnya. Pakdhe Marli sudah tidak bau sangit lagi karena menjadi juru matehan, ibu Ruki, bulik Tarmi terhindar dari keramaian ghibah di dapur rewangan. Begitu juga dengan Sondel, Kamin, dan Napik, mereka tidak perlu capek-capek dan ribet keliling desa atur-atur dari rumah ke rumah. Bikin selembar pamflet saja sudah mampu mendatangkan puluhan orang.

Boomers bahkan sengaja menutup mata kalau milenial ini masih memegang teguh nilai-nilai adab serta tatalaku sebagaimana pemuda desa. Masyarakat tidak perlu keluar tenaga dan uang, cukup duduk dan menikmati acaranya saja. Biarlah perangkat desa beserta pemuda-pemuda itu yang melayaninya. Semakin ramai desa dikunjungi kan semakin banyak peluang untuk menambah pundi-pundi uang. Pemerintah kan juga ada program pemberdayaan UMKM terutama untuk produk  khas daerah yang pastinya sangat menunjang untuk meningkatkan kualitas ekonomi dari masyarakat.

Tidak perlu cemas, tidak perlu bingung. Seluruh potensi yang ada di desa biarlah dinikmati oleh orang-orang dari luar kota maupun di setiap penjuru dunia. Masyarakat tinggal mencari peluang usaha saja. Bagi mbambung juga tidak perlu bingung karena tidak punya pekerjaan. Di lereng Lawu sana, hanya modal lambaian tangan di pinggir jalan sudah dapat menghasilkan pundi-pundi uang. Sepertinya segala hal yang bersifat tradisional tidak melulu akan dilahap habis oleh modernisasi, justru modernisasi bisa menjadi alat bantu untuk melestarikan tradisi untuk melanggengkan kapitalisasi. Jadi, nggak usah khawatir, Boomers!

Athar Fuadi

Tulisan terkait